selamat datang dan salam berjuang Free West Papua.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) SEKTOR TANGERANG BANTEN

-->

Kamis, 18 Agustus 2016


Saat Warga Eks OPM Menyatakan Diri Sebagai Warga Republik Indonesia






Tingginambut - Ratusan warga Tinggginambut Kabupaten Puncak Jaya yang selama ini berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Goliath Tabunia, dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71 menyatakan diri masuk bergabung kedalam Republik Indonesia dan mendukung pemerintah untuk melakukan pembangunan di wilayah tersebut.

Tingginambut selama ini dikenal sebagai daerah merah dengan sejumlah kasus penembakan dan kekerasan terhadap anggota TNI/Polri bahkan masyarakat setempat yang dilakukan Kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Goliath Tabuni.

Selama ini para pengikut Goliath Tabuni merasa ditipu dengan janji Papua merdeka. "Ternyata setelah saya dibawa Bupati ke Jakarta dan ke Jogja di sana itu tidak ada kantor Papua, jadi selama ini kami masyarakat hanya ditipu," kata Supir Murib salah satu anggota mantan OPM yang sudah menyatakan diri untuk mendukung RI, Selasa (16/8/2016) di Tingginambut.

Pemkab Puncak Jaya terus berusaha membuka keterisolasian di daerah pegunungan ini. Selama ini, Distrik Tingginambut hampir tak ada aktifitas perekonomian warga dan juga pendidikan bagi anak sekolah didaerah itu. Sejak 2004-2011, Tingginambut dikuasai oleh kelompok Goliath.

Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo mengaku sangat sulit membuka keterisolasian daerah ini. Sebab beberapa kali Pemkab melakukan pembangunan infrastruktur, gedung sekolah ataupun fasilitas lainnya, selalu dirusak ataupun dibakar oleh kelompok Goliath.

Tingginambut terletak di ketinggian 3800 kaki diatas permukaan laut. Untuk menuju ke Tingginambut, dapat dilalui dengan jalan darat dengan menggunakan roda dua atau roda empat. Jarak tempuhnya hanya 30 menit dari Mulia, Ibukota Kabupaten Puncak Jaya.

Data Pemkab Puncak Jaya menyebutkan, hingga tahun 2012 ada sekitar 112 orang TnI/Polri, atau pun tukang ojek bahkan masyarakat setempat yang menjadi tewas akibat penembakan ataupun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Goliath.
(bag/bag)

Anggota OPM: Stop Bicara Merdeka

 

 

PUNCAK JAYA,-Pasca memutuskan untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, beberapa anggota Tentara Nasional Pembebasan (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) meminta seluruh anggota OPM yang masih berada digunung untuk berhenti melakukan perlawanan terhadap negara Indonesia, tetapi sebaiknya turun gunung dan membantu pembangunan di Kabupaten Puncak Jaya.
“Saat ini kami sudah sadar dan kembali ke Indonesia, kami ingin hidup nyaman dan menikmati pembangunan, kami siap medukung pembangunan Kabupaten Puncak Jaya, saya himbau saudara-saudara saya yang masih dihutan, yang masih berteriak merdeka baik di Kolome, Tingginambut, Yambi dan Mewoluk agar segera turun dan ikut membangun, Stop Teriak Merdeka, “kata Boni Talenggen saat memberikan keterangan kepada wartawan di kota Mulia, Rabu (17/8) siang.
Selain meminta saudara-saudaranya dihutan untuk kembali dan stop berteriak merdeka, Boni Talenggen, juga meminta KNPB dan ULMWP stop melakukan aksi yang mengatasnamakan masyarakat Papua, karena Papua sudah merdeka. “KNPB dan ULMWP stop menipu rakyat Papua, stop teriak merdeka, karena kami sudah merdeka 71 tahun lalu, sekarang waktunya bekerja membangun dan anak-anak kita harus belajar,” ujar Boni.
Sementara itu, anggota OPM lain yang ikut menyerahkan diri, Tendison, mengatakan dirinya ingin kembali bersekolah, karena saat bergabung dengan OPM dirinya masih duduk di kelas 2 SMP. “Saya ingin kembali sekolah, karena waktu masuk ke hutan saya kelas 2 SMP, saya minta pemerintah bantu saya supaya bisa sekolah lagi, “ungkapnya. [ Levin]

 

 

 

 

 

Kamis, 11 Agustus 2016

                                    SERUAN UMUM
                             ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]





Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreemnent) antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua.
Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang ““Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB ‘UNTEA’ kepada Indonesia.
Setelah tranfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang diberi tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New york, Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.
Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Keadaan yang demikian ; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasinya indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.
Maka, kami mengajak Kawan-kawan mahasiswa Papua untuk dalam peringatan 54 Tahun Perjanjian New York/New York Agreement yang Ilegal. Kegiatan ini akan dilakukan dalam bentuk aksi demo pada :
Hari/Tanggal : Senin, 15 Agustus 2016
Demikian seruan aksi ini kami buat, atas partisipasi Kawan-kawan kami ucapkan jabat erat. Salam!

Minggu, 07 Agustus 2016

Tag Archives: sejarah penjajahan

Sebagai Hari Perenungan Sejarah Papua

BIAK [PAPOS] – Dewan Adat Papua wilayah Biak (DAB) memperingati momentum 1 Mei sebagai hari perenungan sebuah sejarah bagi tanah Papua, berkenaan dengan bergabungnya tanah Papua ke pangkuan ibu pertiwi pada 47 tahun silam, sejak Perserikatan Bagsa Bangsa (PBB) menyatakan, Papua resmi sebagai bagian dari NKRI pada 1 Mei 1963.
Menurut pandangan dewan adat Papua yang disampaikan oleh ketua Dewan adat Papua wilayah Biak, Yan Pieter Yarangga kepada wartawan usai menggelar peringatan 1 Mei di halaman kantor DAB (1/5), proses hukum yang melandasi sejarah pengalihan wilayah Papua dari pemerintahan Belanda kepada Perserikatan bangsa bangsa (UNTEA), kemudian dari UNTEA kepada Indonesia, dewan adat menilai belum memenuhi azas demokrasi dan sangat bertentangan dengan Azas azas hokum Internasional yang berlaku.
Untuk itu, lanjut Yan Pieter, sesuai seruan khusus dari ketua umum dewan adat Papua, agar momentum peringatan 1 Mei 2010 ini dijadikan sebagai hari doa bangsa Papua dan hendaknya diperingati diseluruh tanah Papua termasuk di Wilayah dewan adat Biak yang dipimpinnya.
Acara doa bersama yang dihadiri oleh ratusan masyarakat Papua yang berasal dari Kabupaten Biak Numfor dan Supiori ini, berlangsung khidmat dan antusias anak anak adat walaupun hujan megguyur kota Biak pada pelaksanaan acara peringatan hari bersejarah tersebut.
Sebelum menggelar panggung demokrasi, acara tersebut diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Pdt. Jhon Koibur. Dalam Khotbahnya, Jhon Kaibur mengatakan, kita harus mengakui bahwa Papua adalah bagian dari NKRI. ‘’Jadi terlepas dari apapun yang telah terjadi, bangsa Papua telah termasuk dalam NKRI. Namun implementasinya tergantung penilaian masing masing masyarakat,” terangnya
Dalam konfrensi persnya, ketua dewan adat yang didampingi oleh para Mananuir (tokoh tokoh adat,red) dan ketua panitia acara Adolof Baransano mengatakan, dengan momentum 1 Mei ini, hendaknya pemerintah pusat dan daerah harus lebih memperhatikan aspirasi atas hak hak berdemokrasi dan hak hak azasi masyarakat adat Papua sesuai peraturan yang berlaku.
“Kami menghimbau kepada pemerintah pusat dan daerah agar lebih memperhatikan hak hak dasar orang Papua dan bukalah segera dialog antar masyarakat Papua dan Jakarta.”tegasnya.
Pada kesempatan itu, Yan Pieter juga menghimbau kepada pemerintah daerah, mulai dari gubernur sampai ketingkat pemerintahan yang paling bawah, agar jangan hanya memikirkan diri sendiri dan jangan hanya memikirkan kepentingan kepentingan semua sehingga mengorbankan rakyat Papua dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung saat ini.
Dan mulai saat ini lanjut Yan, pemerintah daerah ini harus segera mengakomodir aspirasi masyarakat adat Papua yang sedang menderita dan tertindas didalam segala eforia kebijakan yang digelontorkan oleh pemerintah Pusat. [cr-54]
Ditulis oleh Cr-54/Papos      
Senin, 03 Mei 2010 06:41