selamat datang dan salam berjuang Free West Papua.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) SEKTOR TANGERANG BANTEN

-->

Kamis, 18 Agustus 2016


Saat Warga Eks OPM Menyatakan Diri Sebagai Warga Republik Indonesia






Tingginambut - Ratusan warga Tinggginambut Kabupaten Puncak Jaya yang selama ini berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Goliath Tabunia, dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-71 menyatakan diri masuk bergabung kedalam Republik Indonesia dan mendukung pemerintah untuk melakukan pembangunan di wilayah tersebut.

Tingginambut selama ini dikenal sebagai daerah merah dengan sejumlah kasus penembakan dan kekerasan terhadap anggota TNI/Polri bahkan masyarakat setempat yang dilakukan Kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Goliath Tabuni.

Selama ini para pengikut Goliath Tabuni merasa ditipu dengan janji Papua merdeka. "Ternyata setelah saya dibawa Bupati ke Jakarta dan ke Jogja di sana itu tidak ada kantor Papua, jadi selama ini kami masyarakat hanya ditipu," kata Supir Murib salah satu anggota mantan OPM yang sudah menyatakan diri untuk mendukung RI, Selasa (16/8/2016) di Tingginambut.

Pemkab Puncak Jaya terus berusaha membuka keterisolasian di daerah pegunungan ini. Selama ini, Distrik Tingginambut hampir tak ada aktifitas perekonomian warga dan juga pendidikan bagi anak sekolah didaerah itu. Sejak 2004-2011, Tingginambut dikuasai oleh kelompok Goliath.

Bupati Puncak Jaya, Henock Ibo mengaku sangat sulit membuka keterisolasian daerah ini. Sebab beberapa kali Pemkab melakukan pembangunan infrastruktur, gedung sekolah ataupun fasilitas lainnya, selalu dirusak ataupun dibakar oleh kelompok Goliath.

Tingginambut terletak di ketinggian 3800 kaki diatas permukaan laut. Untuk menuju ke Tingginambut, dapat dilalui dengan jalan darat dengan menggunakan roda dua atau roda empat. Jarak tempuhnya hanya 30 menit dari Mulia, Ibukota Kabupaten Puncak Jaya.

Data Pemkab Puncak Jaya menyebutkan, hingga tahun 2012 ada sekitar 112 orang TnI/Polri, atau pun tukang ojek bahkan masyarakat setempat yang menjadi tewas akibat penembakan ataupun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Goliath.
(bag/bag)

Anggota OPM: Stop Bicara Merdeka

 

 

PUNCAK JAYA,-Pasca memutuskan untuk kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, beberapa anggota Tentara Nasional Pembebasan (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) meminta seluruh anggota OPM yang masih berada digunung untuk berhenti melakukan perlawanan terhadap negara Indonesia, tetapi sebaiknya turun gunung dan membantu pembangunan di Kabupaten Puncak Jaya.
“Saat ini kami sudah sadar dan kembali ke Indonesia, kami ingin hidup nyaman dan menikmati pembangunan, kami siap medukung pembangunan Kabupaten Puncak Jaya, saya himbau saudara-saudara saya yang masih dihutan, yang masih berteriak merdeka baik di Kolome, Tingginambut, Yambi dan Mewoluk agar segera turun dan ikut membangun, Stop Teriak Merdeka, “kata Boni Talenggen saat memberikan keterangan kepada wartawan di kota Mulia, Rabu (17/8) siang.
Selain meminta saudara-saudaranya dihutan untuk kembali dan stop berteriak merdeka, Boni Talenggen, juga meminta KNPB dan ULMWP stop melakukan aksi yang mengatasnamakan masyarakat Papua, karena Papua sudah merdeka. “KNPB dan ULMWP stop menipu rakyat Papua, stop teriak merdeka, karena kami sudah merdeka 71 tahun lalu, sekarang waktunya bekerja membangun dan anak-anak kita harus belajar,” ujar Boni.
Sementara itu, anggota OPM lain yang ikut menyerahkan diri, Tendison, mengatakan dirinya ingin kembali bersekolah, karena saat bergabung dengan OPM dirinya masih duduk di kelas 2 SMP. “Saya ingin kembali sekolah, karena waktu masuk ke hutan saya kelas 2 SMP, saya minta pemerintah bantu saya supaya bisa sekolah lagi, “ungkapnya. [ Levin]

 

 

 

 

 

Kamis, 11 Agustus 2016

                                    SERUAN UMUM
                             ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]





Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreemnent) antara Belanda dan Indonesia terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962 dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua.
Perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang ““Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB ‘UNTEA’ kepada Indonesia.
Setelah tranfer administrasi dilakukan pada 1 Mei 1963, Indonesia yang diberi tanggungjawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib dan pembangunan di Papua tidak menjalankan sesuai kesepakatan dalam Perjanjian New york, Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.
Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Keadaan yang demikian ; teror, intimidasi, penahanan, penembakan bahkan pembunuhan terhadap rakyat Papua terus terjadi hingga dewasa ini diera reformasinya indonesia. Hak Asasi Rakyat Papua tidak ada nilainya bagi Indonesia.
Maka, kami mengajak Kawan-kawan mahasiswa Papua untuk dalam peringatan 54 Tahun Perjanjian New York/New York Agreement yang Ilegal. Kegiatan ini akan dilakukan dalam bentuk aksi demo pada :
Hari/Tanggal : Senin, 15 Agustus 2016
Demikian seruan aksi ini kami buat, atas partisipasi Kawan-kawan kami ucapkan jabat erat. Salam!

Minggu, 07 Agustus 2016

Tag Archives: sejarah penjajahan

Sebagai Hari Perenungan Sejarah Papua

BIAK [PAPOS] – Dewan Adat Papua wilayah Biak (DAB) memperingati momentum 1 Mei sebagai hari perenungan sebuah sejarah bagi tanah Papua, berkenaan dengan bergabungnya tanah Papua ke pangkuan ibu pertiwi pada 47 tahun silam, sejak Perserikatan Bagsa Bangsa (PBB) menyatakan, Papua resmi sebagai bagian dari NKRI pada 1 Mei 1963.
Menurut pandangan dewan adat Papua yang disampaikan oleh ketua Dewan adat Papua wilayah Biak, Yan Pieter Yarangga kepada wartawan usai menggelar peringatan 1 Mei di halaman kantor DAB (1/5), proses hukum yang melandasi sejarah pengalihan wilayah Papua dari pemerintahan Belanda kepada Perserikatan bangsa bangsa (UNTEA), kemudian dari UNTEA kepada Indonesia, dewan adat menilai belum memenuhi azas demokrasi dan sangat bertentangan dengan Azas azas hokum Internasional yang berlaku.
Untuk itu, lanjut Yan Pieter, sesuai seruan khusus dari ketua umum dewan adat Papua, agar momentum peringatan 1 Mei 2010 ini dijadikan sebagai hari doa bangsa Papua dan hendaknya diperingati diseluruh tanah Papua termasuk di Wilayah dewan adat Biak yang dipimpinnya.
Acara doa bersama yang dihadiri oleh ratusan masyarakat Papua yang berasal dari Kabupaten Biak Numfor dan Supiori ini, berlangsung khidmat dan antusias anak anak adat walaupun hujan megguyur kota Biak pada pelaksanaan acara peringatan hari bersejarah tersebut.
Sebelum menggelar panggung demokrasi, acara tersebut diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Pdt. Jhon Koibur. Dalam Khotbahnya, Jhon Kaibur mengatakan, kita harus mengakui bahwa Papua adalah bagian dari NKRI. ‘’Jadi terlepas dari apapun yang telah terjadi, bangsa Papua telah termasuk dalam NKRI. Namun implementasinya tergantung penilaian masing masing masyarakat,” terangnya
Dalam konfrensi persnya, ketua dewan adat yang didampingi oleh para Mananuir (tokoh tokoh adat,red) dan ketua panitia acara Adolof Baransano mengatakan, dengan momentum 1 Mei ini, hendaknya pemerintah pusat dan daerah harus lebih memperhatikan aspirasi atas hak hak berdemokrasi dan hak hak azasi masyarakat adat Papua sesuai peraturan yang berlaku.
“Kami menghimbau kepada pemerintah pusat dan daerah agar lebih memperhatikan hak hak dasar orang Papua dan bukalah segera dialog antar masyarakat Papua dan Jakarta.”tegasnya.
Pada kesempatan itu, Yan Pieter juga menghimbau kepada pemerintah daerah, mulai dari gubernur sampai ketingkat pemerintahan yang paling bawah, agar jangan hanya memikirkan diri sendiri dan jangan hanya memikirkan kepentingan kepentingan semua sehingga mengorbankan rakyat Papua dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung saat ini.
Dan mulai saat ini lanjut Yan, pemerintah daerah ini harus segera mengakomodir aspirasi masyarakat adat Papua yang sedang menderita dan tertindas didalam segala eforia kebijakan yang digelontorkan oleh pemerintah Pusat. [cr-54]
Ditulis oleh Cr-54/Papos      
Senin, 03 Mei 2010 06:41

Selasa, 26 Juli 2016

Hanya AMP Saja Yang Angkat Kaki, Mahasiswa Papua Lain Tidak

Hanya-amp-yang-angkat-kaki-mahasiswa-papua-lain-tidakYogyakarta, PAPUANEWS.ID – Terkait rencana mahasiswa Papua meninggalkan Yogyakarta karena merasa tak aman. Pemerintah Provinsi Papua mengirim utusan bersama DPRD setempat ke Yogyakarta untuk membicarakan masalah jaminan keamanan bagi para mahasiswa yang menuntut ilmu di sana. Hal ini disampaikan Sekretaris Daerah Pemprov Papua Hery Dosinaen saat ditemui seusai menghadiri Rakernas Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) di Jayapura, Senin (25/7/2016).
“Gubernur Papua Lukas Enembe mengutus perwakilan ke Yogyakarta untuk membicarakan masalah jaminan keamanan bagi para mahasiswa yang menuntut ilmu di sana, Gubernur juga telah berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengatasi masalah anak-anak Papua yang menuntut ilmu di Yogyakarta,” kata Hery.
Selain itu, Hery menambahkan bahwa tidak semua Mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta akan pindah dari kota pendidikan itu, lebih jelasnya Mahasiswa yang akan pindah hanya mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saja.
Hal itu dibenarkan oleh hery ketika dikonfirmasi seusai menghadiri Rakernas Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) di Jayapura, Senin (25/7/2016).
“Mahasiswa Papua di Yogyakarta kabarnya mau angkat kaki dari Yogya, itu tidak benar, tidak semua mau pindah hanya mahasiswa yang tergabung dalam AMP saja, mereka katanya tidak aman di Yogya. Selama ini kita pemerintah daerah juga sudah mengetahui AMP itu seperti apa? Mereka itu mahasiswa yang penuh akan pemikiran kritis namun selalu bermuara ke separatis, dan bapak Gubernur Papua sendiri juga sudah berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengatasi masalah tersebut,” ucap Hery.
Kendati demikian Hery juga menjelaskan Mahasiswa Papua di AMP ini merasakan setelah mereka merasa tidak aman setelah beberapa waktu lalu di asrama Papua menggelar aksi unjuk rasa damai untuk menuntut masuknya organisasi United Liberation Movement for West Papua dalam perkumpulan negara Melanesia (MSG) sehingga oleh aparat keamanan dan sejumlah ormas pada 15 Juli 2016 mendapat pengepungan dan penangkapan terhadap mahasiswa Papua.
“Mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP inilah yang membuat Yogyakarta tidak aman bagi para pelajar Papua lain, AMP yang melakukan aksi demo separatis mendukung ULMWP masuk MSG, namun akibat dari ulah AMP, Mahasiswa Papua lain yang tidak ikut juga terkena imbasnya.” tutup Hery. (Red.AK)

Jumat, 22 Juli 2016

Yogyakarta | Fri, July 15 2016 | 09:52 pm 

 Polisi menangkap tujuh mahasiswa Papua, mencegah demo

Polisi mengepung mahasiswa Papua di asrama mereka di Yogyakarta untuk mencegah mereka dari menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh Persatuan Rakyat untuk Kebebasan Papua Barat (PRPPB).
Polisi mengamankan asrama di Jl. Kusumanegara Jumat dari pagi hingga sore dan menangkap tujuh dari siswa.
Acara PRPPB adalah mendukung Gerakan United Liberation untuk (ULMWP) tawaran Papua Barat untuk menjadi anggota penuh dari Melanesia Spearhead Group (MSG).
Juru bicara PRPPB Roy Karoba kepada The Jakarta Post bahwa ratusan siswa, yang disimpan di asrama sejak Jumat pagi, tidak makan dan ambulans Palang Merah Indonesia menyampaikan makanan dicegah dari memasuki asrama. "Ambulans tidak diizinkan masuk [asrama]. Ini kiri setelah diskusi dengan polisi, "kata Roy.
Awalnya, para siswa berusaha untuk mengatur pertemuan di Titik Nol (Zero Point) di pusat Kota Yogyakarta, tetapi polisi tidak mengizinkan mereka untuk melaksanakan rencana mereka. Mereka kemudian memutuskan untuk mengatur acara kebebasan berbicara di asrama.
Polisi menangkap sedikitnya tujuh siswa, menyita bendera Bintang Kejora dan sepeda motor. Polisi juga menembakkan tembakan peringatan dalam bentrokan antara aparat dan mahasiswa. Empat mahasiswa ditangkap ketika mereka membeli makanan di pasar Giwangan.
Ketegangan di asrama meningkat ketika melawan aktivis dari Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Anak Veteran Indonesia (FKPPI) dan organisasi massa Paksi Katon tiba di lokasi untuk mendukung polisi.
departemen intelijen kepala Komisaris Besar Polisi Yogyakarta. Wahyu Dwi Nugroho menegaskan bahwa polisi tidak mengizinkan acara di Titik Nol. "Hal ini demi keamanan," katanya, menolak untuk berkomentar lebih lanjut.
Emanuel Gobay Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH Yogyakarta) mengkritik polisi untuk mencegah siswa dari melakukan demonstrasi mereka, mengatakan bahwa hal itu melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. (BBN)
LBH Jakarta Mengecam Kasus Rasisme dan Sikap Kepolisian Terhadap Orang Papua
Sreen shot cuplikan video tanggapan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta 16/07/2016. Gambar: Eriick/WANI 
Jakarta, Tabloid-Wani -- LBH mengecam kasus Rasisme yang dilontarkan oleh Ormas bersama Polisi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta pada hari Jumat 15/07/2016.
Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, ungkapan "monyet lah, anjing, babi itu merupakan kekerasan Verbal Rasial dan melanggar fungsi Polisi"

"Sejak april hingga hari ini dalam jangka waktu tidak sampai empat bulan itu sudah ada lima ribu lebih orang Papua ditangkap, dan semua sudah ada laporan, nah jadi ini represinya makin tinggi terhadap orang Papua"

Melihat hal tersebut LBH Jakarta sangat perihatin terhadap perlakuan tidak menusiawi terhadap orang Papua yang dilakukan oleh kepolisian dalam hal ini Polri, dan Poda di beberapa daerah.

"Jadi untuk itu, atas kejadian saya mewakili LBH Jakarta dan Papua itu Kita mengecam Kapolri, Kapolda Yogyakarta, Kapolda Makasar atas perlakuan sewenang-wenang Polisi dan juga abuse of power yang dilakukan oleh orang-orang di Polisi ini luar biasa jahat, karena sampai ada orang yang mau makan itu dihalang-halangi itu luar biasa, dan juga Pengepungan tanpa dasar"

Dalam situasi seperti ini, presiden Jokowi selaku kepala negara harus membuka diri dan bersikap terkait penekanan sewenang-wenang yang dilakukan ini, karena eskalasinya semakin lama meningkat drastis.

"Jokowi juga harus bersikap atas represitasis yang sitematis kepada orang Papua, sejak dari penangkapan yang terjadi sejak bulan april yang terus menerus, karena ini eskalasinya terus meningkat. Ini Jokowi mau tutup sampai kapan baru dia tidak bertindak itu"

Berikut ini cuplikan video tanggapan dari LBH Jakarta Mengenai Kasus Rasisme dan Sikap Kepolisian Terhadap Orang Papua

Kamis, 21 Juli 2016

Diam-Diam "Sejumlah Tokoh Papua Bertemu Gubernur DIY Teguhkan Komitmen Kebersamaan dan Kedamaian




Yogyakarta: Sejumlah Tokoh Papua bertemu Gubernur DIY Sultan HB X di Kepatihan Yogyakarta, Kamis (21/7/2016). 

Tokoh papua yang hadir bertemu Gubernur DIY diantaranya Pembela hak asasi manusia - Mateus Murib, bersama sejumlah tokoh Papua lainnya yakni Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia - Pendeta Pil Erari, Ketua Pemuda Adat Papua - Deki Ofidei, Kepala Suku besar Papua Ondo afi - Boy Eloai. 

"Pertemuan kami dengan Bapak Sultan meneguhkan kembali pentingnya menjaga kebersamaan, dan rasa damai yang sebenarnya sudah diciptakan selama ini. Gangguan-gangguan yang sempat terjadi diharapkan tidak terulang kembali," jelas Mateus Murib, Juru Bicara Perwakilan Tokoh Papua usai bertemu Gubernur DIY, di Kepatihan Yogyakarta, Kamis (21/7/2016).

Dikatakannya, kedatangan lebih dari 6 ribu pelajar dan mahasiswa asal Papua ke Yogyakarta adalah fokus utamanya untuk belajar menempuh pendidikan. 

"Sehingga aktivitas lain diluar studi apalagi politik, itu kami masyarakat Papua juga tidak menghendaki aspirasi demikian itu (red:separatis terjadi di kota ini. Karena itu bertentangan dengan hukum di negara kita. Begitu pun, asrama mahasiswa Papua kita harapkan ditertibkan, sehingga yang menghuni asrama itu untuk mencari ilmu pendidikan dan statusnya jelas-jelas mahasiswa. Non mahasiswa harus ditertibkan. Sehingga ke depan ulah-ulah beberapa orang itu, tidak mengganggu rasa nyaman kita semua. Sehingga kami jauh-jauh Papua harus kesini. Orang Yogyakarta harus mempermasalahkan seperti ini," papar Mateus Murib yang juga Ketua Pembela Hak Asasi Manusia Papua ini. 

Mateus juga menyatakan perlunya kesadaran akan tanggung jawab menjaga keadilan dan kedamaian pada diri semua masyarakat. 

"Kuncinya, rasa adil, rasa damai ada dalam kita semua. Harus dijaga kita semua, tanggung jawab kita bersama. Tidak perlu mencari siapa salah, siapa benar, tapi membicarakan suasana ke depan yang lebih baik untuk semua pihak," tegasnya.

Sementara itu, Sri Sultan HB X Gubernur DIY memghimbau pelajar dan mahasiswa Papua di Yogyakarta, fokus menempuh pendidikan.

"Kita clear, bagi saya tidak ada masalah anak anak Papua itu. Hanya saja sekarang anak-anak itu ya sekolah, sekolah yang baik lah. Jangan bicara politik. Sudah selesai kok," katanya.

Raja Kraton Yogyakarta ini juga mengaku tetap menganggap masyarakat Papua di Yogyakarta sebagai keluarga bahkan anak sendiri.

"Mahasiswa ini anak muda, yang kita orang tua wajib mengingatkan. Kalau belum memahami, ya sekali-kali ditegur supaya ingat. Kalau sudah bisa kembali ke posisi ya sudah selesai. Itu aja. Jangan dianggap ini masalah politik, pertentangan suku. Bukan itu. Ya kita anggap, saya orang tuanya mereka. Dia anak muda perlu diberi pemahaman. Sudah selesai. Jadi, tidak ada sesuatu sifat benci, atau tidak senang," tegas Sultan. 

Sumber : Wuri Damaryanti Suparjo
 RRI Yogyakarta

By Jangkrik

Kamis, 21 Juli 2016

Indonesian police under fire over arrest of Papuan students, racial abuse

Jefry Wenda, coordinator of a Papuan students group covering Java and Bali ... the Papuan students in Yogyakarta have been left traumatised by police behavior. Image: Ryan Dagur/UCA
By Ryan Dagur in in Jakarta
Indonesian Church officials and activists have accused police in Yogyakarta of racism and using excessive force after six Papuan students were arrested for singing Papuan songs in their college dormitory.
“Police officers must be fair. They must protect Papuan people too,” Father Paulus Christian Siswantoko, executive secretary of the Indonesian bishops’ Commission for Justice, Peace and Pastoral for Migrant-Itinerant People, said.
“The government has the task to protect all citizens and disregard their ethnic background,” he said.
Police say they surrounded the dormitory belonging to Yogyakarta’s College of Community Development on July 15 to prevent a number of Papuan students from attending a banned rally organised by the People’s Union for West Papua Freedom.
The rally was aimed at supporting a bid by the Papuan nationalist group, the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), to join the Melanesian Spearhead Group.
The group is an intergovernmental organisation comprising Fiji, Papua New Guinea, Solomon Islands and Vanuatu, as well as the Kanak Socialist National Liberation Front, a political party from New Caledonia. The ULMWP currently has observer status.
The Papuan students said they initially planned to hold the rally in the city center, but decided instead to sing some Papauan songs at the dormitory after organisers failed to obtain a rally permit from local police.
Tear gas
Police allegedly used tear gas on the students before arresting them.
During the arrest it is alleged officers manhandled and racially abused the students, who were also subjected to racial taunts by local pro-Jakarta activists who had gathered to support the police as the drama unfolded.
All the students were later released on July 17 following questioning.
“Police officers must not let racial abuse happen,” said Father Siswantoko.
He said the students had the right to express their views.
“They didn’t even stage a rally, but their voices were silenced anyway,” he said, adding that there is deep-seated prejudice by locals against Papuans.
Risky Hadur, a Catholic student activist also denounced the police action.
Left traumatised
“We express our deep condolences to the death of humanity and brotherhood in this nation.”
The students were left traumatised by the incident, according to Jefry Wenda, coordinator of a Papuan students’ group covering Java and Bali.
“Police officers and other people shouted at them and called them ‘pigs’ and ‘monkeys,'” he said, calling on the government to put a stop to abuses against the Papuan people.
National Commission on Human Rights official Natalius Pigai said the incident would be investigated.
“We must not let such racial discrimination happen,” he said. “We will send a team next week to Yogyakarta to investigate.
Ryan Dagur is a contributor to the Union of Catholic Asian News service.

Jumat, 08 Juli 2016

Jumat, 08 Juli 2016

Pangdam: Bupati Puncak Jaya sangat perhatikan prajurit TNI

Bupati Puncak Jaya Henock Ibo bersama Gubernur Papua Lukas Enembe dan Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw ketika meninjau di Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya ((foto Antara Papua/Hendrina Dian Kandipi)

     "Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana"
Jayapura (Antara Papua) - Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian menyampaikan bahwa Bupati Puncak Jaya Henock Ibo sangat memperhatikan prajurit TNI yang bertugas di daerah itu sehingga pantas disebut "orang tua TNI".
"Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana," kata Pangdam Hinsa Siburian di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut dia, penyebutan sebagai "orang tua TNI" pantas disematkan kepada Bupati Henock Ibo karena bukti nyata yang diberikan bukan saja kepada prajurit TNI, tetapi kepada personil Polri yang bertugas di Puncak Jaya.
"Lihat saja, sehari sebelum pelaksanaan Idul Fitri 1437 Hijriah, Pak Henock Ibo memberikan bingkisan lebaran, berupa uang tunai sebesar Rp15 juta tiap pos TNI yang ada di Puncak Jaya," katanya.
Dana sebesar itu, kata Pangdam, memang terbilang cukup besar, tetapi dengan biaya kemahalan hidup yang ada di Puncak Jaya, maka tidaklah cukup untuk keperluan prajurit. 
"Pak Henock sampaikan bahwa dana itu untuk memberikan motivasi kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di Puncak Jaya karena telah mendukung menciptakan situasi yang kondusif sehingga pembangunan berjalan dengan aman dan lancar," katanya.
"Dana itu, kata Pak Henock untuk belikan ayam di hari raya Idul Fitri. Saya sebagai pimpinan tentunya apresiasi jika ada kepala daerah yang mengapresiasikan tugas kami dengan baik. Intinya, tidak boleh meminta, tugas dilaksanakan karena sudah menjadi kewajiban," ujarnya.
Panglima TNI dan Kasad, kata Pangdam, juga memberikan bingkisan lebaran dan dana kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di daerah terpencil, terjauh, terdepan dan terluar.
"Saat saya kunjungan kerja ke Puncak Jaya, saya menyampaikan bingkisan yang dititipkan oleh Panglima TNI dan Kasad kepada prajurit di lapangan. Para prajurit juga senang," katanya.
Selain itu, kata Pangdam, Bupati Henock Ibo juga menghibahkan lahan milik Pemkab Puncak Jaya kepada TNI melalui Kodam Cenderawasih untuk pembangunan Markas Kodim 1714/Puncak Jaya serta lahan untuk perumahan prajurit.
"Lahan pembangunan rumah dinas Kodim Puncak Jaya itu, tepat di belakang Pasar Nagamuloni. Dan sudah dibangun 23 unit, 15 sumbangan dari Menteri PU PERA dan sisanya dari Zidam," katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (6/7), Pangdam Cenderawasih dan Asops Kolonel Inf Rudi Runtuwene di dampingi Bupati Henock Ibo menyambangi prajurit TNI yang bertugas sebagai satuan tugas (Satgas) pengamanan daerah rawan (Pamrahan) di Puncak Jaya.  (*)
Sumber : Alfian Rumagit,,http://www.antarapapua.com/berita/456140/pangdam-bupati-puncak-jaya-sangat-perhatikan-prajurit-tni

Jumat, 08 Juli 2016

Pangdam: Bupati Puncak Jaya sangat perhatikan prajurit TNI

Bupati Puncak Jaya Henock Ibo bersama Gubernur Papua Lukas Enembe dan Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw ketika meninjau di Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya ((foto Antara Papua/Hendrina Dian Kandipi)

     "Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana"
Jayapura (Antara Papua) - Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian menyampaikan bahwa Bupati Puncak Jaya Henock Ibo sangat memperhatikan prajurit TNI yang bertugas di daerah itu sehingga pantas disebut "orang tua TNI".
"Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana," kata Pangdam Hinsa Siburian di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut dia, penyebutan sebagai "orang tua TNI" pantas disematkan kepada Bupati Henock Ibo karena bukti nyata yang diberikan bukan saja kepada prajurit TNI, tetapi kepada personil Polri yang bertugas di Puncak Jaya.
"Lihat saja, sehari sebelum pelaksanaan Idul Fitri 1437 Hijriah, Pak Henock Ibo memberikan bingkisan lebaran, berupa uang tunai sebesar Rp15 juta tiap pos TNI yang ada di Puncak Jaya," katanya.
Dana sebesar itu, kata Pangdam, memang terbilang cukup besar, tetapi dengan biaya kemahalan hidup yang ada di Puncak Jaya, maka tidaklah cukup untuk keperluan prajurit. 
"Pak Henock sampaikan bahwa dana itu untuk memberikan motivasi kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di Puncak Jaya karena telah mendukung menciptakan situasi yang kondusif sehingga pembangunan berjalan dengan aman dan lancar," katanya.
"Dana itu, kata Pak Henock untuk belikan ayam di hari raya Idul Fitri. Saya sebagai pimpinan tentunya apresiasi jika ada kepala daerah yang mengapresiasikan tugas kami dengan baik. Intinya, tidak boleh meminta, tugas dilaksanakan karena sudah menjadi kewajiban," ujarnya.
Panglima TNI dan Kasad, kata Pangdam, juga memberikan bingkisan lebaran dan dana kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di daerah terpencil, terjauh, terdepan dan terluar.
"Saat saya kunjungan kerja ke Puncak Jaya, saya menyampaikan bingkisan yang dititipkan oleh Panglima TNI dan Kasad kepada prajurit di lapangan. Para prajurit juga senang," katanya.
Selain itu, kata Pangdam, Bupati Henock Ibo juga menghibahkan lahan milik Pemkab Puncak Jaya kepada TNI melalui Kodam Cenderawasih untuk pembangunan Markas Kodim 1714/Puncak Jaya serta lahan untuk perumahan prajurit.
"Lahan pembangunan rumah dinas Kodim Puncak Jaya itu, tepat di belakang Pasar Nagamuloni. Dan sudah dibangun 23 unit, 15 sumbangan dari Menteri PU PERA dan sisanya dari Zidam," katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (6/7), Pangdam Cenderawasih dan Asops Kolonel Inf Rudi Runtuwene di dampingi Bupati Henock Ibo menyambangi prajurit TNI yang bertugas sebagai satuan tugas (Satgas) pengamanan daerah rawan (Pamrahan) di Puncak Jaya.  (*)
Sumber : Alfian Rumagit,,http://www.antarapapua.com/berita/456140/pangdam-bupati-puncak-jaya-sangat-perhatikan-prajurit-tni