selamat datang dan salam berjuang Free West Papua.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) SEKTOR TANGERANG BANTEN

-->

Kamis, 09 Juni 2016

ULMWP Tolak Tim HAM Buatan Jakarta, KNPB Siap Gelar Demo Akbar

 


Jayapura, Jubi – United Liberation Movement for West Papua mengatakan dengan tegas menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Tim ini hanyalah upaya menggagalkan diplomasi ULMWP dan

 ayapura, Jubi – United Liberation Movement for West Papua mengatakan dengan tegas menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan. Tim ini hanyalah upaya menggagalkan diplomasi ULMWP dan menghambat tim pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF).

ULMWP mengatakan pembentukan tim ini sangat dipaksakan dan dipolitisir karena tidak sesuai dengan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM. Penyelesaiaan pelanggaran HAM hanya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia walaupun KOMNAS HAM gagal menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Papua.
“Hal ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia melanggar aturan Undang-Undangnya sendiri,” tulis ULMWP dalam releasenya yang dibacakan anggota tim kerja ULMWP dalam negeri, Sem Awom dalam siaran persnya di kantor ESHAM Jayapura, Papua, Kamis (9/6/2016).
Kata dia, rakyat Papua tidak akan pernah percaya kerja tim bentukan Jakarta ini. Karena, proses pendataan kasus HAM tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tim bentukan Luhut hanya menyimpulkan 14 kasus dari sejumlah kasus yang tertumpuk di Papua. Investigasi mestinya menyeluruh di bidang sipil, politik, ekonomi, social dan budaya sejak aneksasi Papua pada 1963, bukan parsial.
Kata dia, pembentukan tim ini juga terkesan tertutup. Pemerintah tidak melibatkan sejumlah komponen di Papua, yang punya kapasitas mengkawal semua kasus pelanggaran HAM.Karena itu, tim ini hanyalah upaya pemerintah Indonesia mengalihkan perhatian masyarakat Internasional terhadap kasus HAM di Papua.
“Tim ini hanya tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksaan Universal Periodik Review (UPR) di dewan HAM PBB dan juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Island Forum,”tegasnya.
Teko Kogoya, ketua Forum Independen Mahasiswa (FIM) mengatakan pembentukan dan kerja tim ini sebenarnya penghinaan terhadap orang Papua sebagai korban. Sangat tidak masuk akal, sulit diterima, karena aparat keamanan yang menjadi perlaku kekerasan di Papua terlibat menentukan kasus HAM dalam rangka penyelesaian kasus HAM di Papua.
“Jakarta Papua ini pelaku dan korban. Lalu siapa yang menjadi hakim dan siapa yang menjadi pelaku. Indonesia sedang menipu orang Papua. Orang Papua tidak boleh terjebak dengan tipu muslihat Jakarta ini,” ungkapnya tegas.
Simeon Alua, juru bicara Parlemen Nasional West Papua mengatakan penyelesaian konflik Papua tidak bisa dengan jalan kucing-kucingan. Penyelesaian kasus Papua harus melalui proses yang benar dan sesuai mekanisme Internasional. Penyelesaiannya harus tunduk kepada hukum internasional yang menghargai martabat manusia, yang pernah dilecehkan demi kepentingan Amerika dan Indonesia.
“Akar masalah Papua ini masalah Politik. New York Agreement, Roma Agrrement yang mengatur soal Pepera tidak pernah melibatkan orang Papua. Puncaknya pelaksaan Pepera 1969 jadi proses penyelesaian pun harus melalui jalur politik,”tegasnya.
Agust Kossay, ketua I KNPB pusat mengatakan KNPB akan memediasi rakyat Papua mengeksekusi keputusan ULMWP. Rakyat Papua melakukan demontrasi damai dengan agenda menolak tim bentukan Jakarta pada 15 Juni 2016. Pihaknya sudah kordinasi ke seluruh wilayah untuk melakukan aksi penolakan.
“KNPB siap mediasi rakyat melakukan yang menjadi keputusan ULMWP. Situasi apapun kami tetap memediasi rakyat turun jalan dengan cara-cara damai,” ungkapnya dengan tegas dalam konfrensi pers itu.
Kordinator aksi, KNPB, Bazoka Logo megatakan pihaknya sudah siap menggiring Indonesia menyelesaikan masalah Papua dengan cara-cara menghargai martabat manusia. Karena itu, siapapun yang bersimpati dengan dengan kemanusiaan dapat terlibat dalam demonstrasi damai nanti.
“KNPB mediasi rakyat tidak main-main. Kita mengorbankan perjuangan damai. Kami mengundang simpati kemanusiaan,” tegasnya.(*)
WENE-PAPUA - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan bersama sejumlah perwakilan kementerian bertolak ke Australia untuk melakukan pertemuan bilateral.
Dari sejumlah isu yang akan dibawa ke pertemuan tersebut salah satunya adalah masalah Papua.
Seperti ditulis Kompas, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw mendukung agar permasalahan Papua dibawa ke pertemuan di Australia. Menurut dia, masalah-masalah tersebut perlu juga diketahui oleh pemerintah negeri kanguru.
Potres pelanggaran hak asasi manusai (HAM) di Papua
Bicara tentang masalah Papua, tak lepas dari 11 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Beberapa di antaranya adalah Operasi Mapenduma tahun 1996, kasus hilangnya Aristoteles Masoka sopirnya Theys Eluay, serta kasus Biak Numfor berdara tahun 1998.
Paulus menyebutkan, dari tiga kasus ditangani Polda Papua, ada satu yang sudah ada pengungkapan dan pemeriksaan anggota, yaitu kasus pembataian di Kabupaten Kepulauan Yapen.
"Itu yang sempat keluar di YouTube. Kalau yang lain sedang dalam proses," tutur Paulus.
Adapun dalam delegasi tersebut selain Paulus Waterpauw, Nick Messet, Franzalbert Joku, Matius Murib dan Marinus Yaung. Diikutsertakannya dua nama terakhir diatas, mendapat banyak kritikan dari sejumlah aktivis Papua. Menurut mereka keikutsertaan kedua orang tersebut dalam delegasi pejabat Indonesia tersebut dikwatirkan akan menyembunyikan fakta tentang semua kasus- pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Banyak aktivis juga tidak ingin keduanya ada dalam pertemuan itu dengan mengatasnamakan rakyat Papua yang dibantai dibawah pendudukan Indonesia. Terlebih belakangan ini marak terjadi kasus pembunuhan dengan motif orang tak dikenal (OTK) di Papua, diduga serangkaian pembunuhan itu dilakukan oleh intelejen Indonesia untuk mengacaukan situasi Papua." (*)
Diposkan oleh Werene News
WENE-PAPUA - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia Luhut Binsar Pandja...
wene-papua.com

Polisi Ajak Siswi Hubungan Intim karena Menolak Ditilang

Miski    •    09 Juni 2016 13:28 WIB
 
 
 
 


 Anggota kepolisan dari Satlantas Polres Batu di Pos Polisi Alun-alun Batu. (Foto: Metrotvnews.com/Miski)
 
 
 
 nggota kepolisan dari Satlantas Polres Batu di Pos Polisi Alun-alun Batu. (Foto: Metrotvnews.com/Miski) Metrotvnews.com, Malang: Perilaku tidak terpuji ditunjukkan oknum polisi di Kota Batu, Jawa Timur. Angggota Satlantas Polres Batu Brigadir E, 28, mengajak siswi SMK, DW, 15, berhubungan seksual karena menolak ditilang saat kedapatan melanggar lalu lintas.

Pantauan di lokasi, pertemuan antara korban dan oknum polisi berlangsung di Pos Polisi Alun-alun Kota Batu. Korban didampingi aktivis Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Sedangkan Polres Batu diwakili Kasubag Humas, AKP Waluyo dan Kepala Seksi Propam Polres Batu.
Aktivis JKJT, Agustinus Tedja, mengatakan, kedua belah pihak telah bertemu. Korban pada dasarnya sudah memaafkan dan oknum polisi tersebut mengakui kesalahannya dan mengaku khilaf.

"Kasusnya sudah ditangani Propam dan Satlantas Polres Batu, kami juga sudah laporan resmi,” kata dia, ketika mendampingi korban, Kamis (9/6/2016).

Korban DW mengakui masalah tersebut bermula saat ia terjaring razia di sekitar Alun-alun Batu oleh oknum Polisi berinisial E. Ia tidak membawa STNK dan SIM dan diminta masuk Pos Polisi Alun-alun untuk proses tilang.

DW kemudian diminta membayar uang tilang sebesar Rp250 ribu. Namun, karena tidak memiliki uang sebesar itu, ia pun menolak membayar.

“Jika tidak mau bayar pakai uang, dibayar dengan hubungan intim saja,” ungkap Agustinus menirukan perkataan okum polisi.

DW menolak ajakan tersebut dan memilih ditilang. Saat itu, terdapat dua petugas polisi di Pos Polisi Alun-alun Batu. "Tidak sampai dipaksa, cuma diancam, jika tidak mau bayar ya harus hubungan,” akunya lebih lanjut sembari masuk ke dalam mobil.

Menanggapi hal itu, Polres Batu segera melakukan penyelidikan dan mendalami adanya laporan tersebut. Kasubag Humas Polres Batu, AKP Waluyo, menyebut, Brigadir E membenarkan telah mengajak siswi SMK berhubungan layaknya suami istri.

“Tadi saat mediasi, Brigadir E mengakuinya. Ia mengaku khilaf dan meminta maaf. Korban telah memaafkan, tetapi kami tetap proses sesuai prosedur di internal Polri,” katanya.

Sesuai arahan dari Kapolres, kata Waluyo, kasus tersebut langsung ditangani Propam. Jika benar ada pelanggaran, pihaknya tidak segan menjatuhi sanksi, baik sidang disiplin dan kode etik.

Sampai proses penyelidikan selesai, Brigadir E tetap bisa bertugas sebagaimana mestinya. “Tunggu saja hasil penyelidikannya, jika benar dan cukup alat bukti, tidak menutup kemungkinan sanksi penurunan pangkat dan penjara diberikan kepada Brigadir E,” tegasnya.

Brigadir E merupakan anggota Unit Turjawali Satlantas Polres Batu. Ia sudah lama bertugas di Polres Batu dan merupakan penugasan keduanya setelah sebelumnya pindahan dari daerah lain.

Perempuan paska Wasior Berdarah

 

Kekuatan di balik kepungan konsesi dan stigma


Malam itu kunang-kunang tak berpendar riuh di pepohonan
angin laut bawa kabar buruk pada manusia-manusia daratan
di penghujung malam ada lima orang mati oleh pelatuk tanpa tuan
angin bertiup kencang ke segala penjuru Teluk Peradaban
menyapu rumah-rumah peribadatan
membakar kampung tak sisakan hewan
menyisir manusia-manusia daratan
mengusir ke pegunungan
mengejar ke hutan-hutan
memburu hingga pelosok dusun-dusun sagu bertuan
Lima kematian menuntut balas pada semua manusia Wondama
kematian pasukan berseragam penjaga Vatika Papuana Perkasa
lunas dibayar teror stigma
tiga belas juni dan sesudahnya tak lagi sama
gurat-gurat luka trauma orang-orang biasa
perusahaan berjaya
tentara tepuk dada
Indonesia makin berkuasa
peradilan Wasior berdarah tinggal janji belaka
diulang-ulang demi suara untuk berkuasa
di dalam teror tak berjeda
 Malam, Tiga Belas Juni (zy)

TELUK Wondama adalah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat yang cukup tua. Kota ini disebut kota peradaban Papua, karena disanalah berdiri pertama kali Sekolah Pendidikan Guru Desa yang dikhususkan bagi putra-putri asli Papua dari wilayah bagian Barat dan Utara Papua. Sekolah ini didirikan tahun 1925 di era Zending (misionaris) agama Kristen di bagian barat Papua. I.S Kijne, tokoh penting yang meletakkan fondasi bagi peradaban orang Papua asli di Teluk Wondama.
Kabupaten genset, demikian beberapa menyebutnya, karena listrik menyala hanya jika warga sanggup beli bensin. Kabupaten ini tidak banyak dikenal orang dibanding kabupaten lain di Propinsi Papua Barat. Sebelumnya ia menjadi bagian wilayah Kabupaten Manokwari. Kabupaten yang dimekarkan paksa pasca peristiwa Wasior Berdarah Maret-Oktober tahun 2001. Kabupaten yang dihantam banjir bandang tahun 2010 hingga menewaskan 158 orang dan 145 lainnya hilang.
Wondama dimekarkan demi puluhan konsesi HPH/IUPHHK, salah satu penyebab banjir bandang tahun 2010. Wondama berdarah karena orang-orang kampung, yang memprotes perampasan hak ulayatnya sekitar Maret 2001, dibungkam dengan penyisiran, pembakaran rumah-rumah, pemukulan, penganiayaan dan penembakan oleh aparat gabungan. Satu kampung habis dilalap api. Satu ekor hewan pun tak bersisa.
***
Perempuan-perempuan itu tinggal di kampung-kampung nan indah: Wombu dan Ambumi. Di gunung menganak sungai mengalir bertemu laut, di pesisir pantai menghadap gunung dikelilingi pulau-pulau sepi.
Pagi hari, mereka yang tinggal di daratan pegunungan berjalan kaki dengan noken di kepala atau di kedua bahu; berisi parang, kasbi atau sagu, menuju kebun yang berjarak sedikitnya 3 km. Anak-anak ikut berjalan di belakang atau menempel digendongan. Mereka selalu beringus, seringkali disertai batuk. Anjing-anjing kadang ikut serta, walau lebih bersemangat ketika temani para Ayah dan pemuda untuk berburu.
Siang hari, perempuan-perempuan ini mencuci, memasak, menganyam noken, atau hanya duduk-duduk saja bercerita; atau tidur. Pinang tak berhenti dikunyah, sesekali menghisap Surya 16 jika beruntung atau ada uang lebih. Kalau tidak, Anggur Kupu adalah pilihan yang lebih terjangkau. Semua perempuan makan pinang, tapi tak semua suka Surya 16 maupun Anggur Kupu. Pinang adalah penyelamat dan obat; rokok pun demikian.
Mama-mama yang lebih tua, dan mereka yang tinggal di pedalaman, biasanya senang merokok. Di kebun, bila mereka tidak punya korek api/gas, sejenis buluh kayu halus dipantik oleh batu yang digesek pada bambu hingga berasap dan mengapi. Perempuan-perempuan itu tidak banyak bicara, anak-anak selalu riuh bermain di sekitar mereka. Anak lebih tua menjaga anak-anak lebih muda, yang muda menjaga balita. Para ayah berganti menjaga saat Mama harus pergi mencuci di kali besar, 100 meter dari tempat tinggal.
Hidup sekilas tenang dan lambat.
***
Terdapat 32 (kepala keluarga) KK tinggal di Kampung Wombu. Jumlah itu bercampur dengan keluarga-keluarga yang datang dan tinggal berkala dari Kampung Urere di pedalaman Inyora dan Undurara, satu hari berjalan kaki dari Wombu. Wombu terletak di kaki bukit Inggorosai, suatu bukit bebatuan sakral yang menjadi situs nenek moyang orang Wondama. Wombu semacam kampung transit bagi warga Urere yang harus turun gunung untuk membeli dan atau melakukan pertukaran demi garam, gula, kopi atau beras.
Mayoritas perempuan di sana berusia muda, tanpa mereka tahu pasti berapa. Dari raut wajah, senyum, dan tubuhnya memang tampak masih muda. Mereka semua sudah bersuami, paling sedikit memiliki dua orang anak yang jaraknya berdekatan, atau sedang mengandung. Tidak ada perempuan muda yang lajang di tempat itu. Kategori remaja sepertinya tidak berlaku, kecuali jika boleh disebut remaja istri. Hanya ada satu remaja yang duduk di bangku SMA, kebetulan sedang pulang ke kampung. Ia dan Ibunya seperti kakak adik saja.
Hampir semua perempuan Wombu tidak bisa baca tulis. Tak banyak yang bisa berbahasa Melayu-Papua. Program informal baca tulis tahun 2008, yang diselenggarakan Guru Jemaat gereja Paulus Petrus, Mama Priscila Ariburi, terpaksa terhenti karena sulit bagi waktu. Upaya pengajaran baca tulis oleh anak salah seorang keluarga, yang kebetulan bisa tamat SMA di kota Wasior, tidak banyak membantu. Sekolah dasar, satu-satunya sekolah di kampung itu, ditumbuhi rumput liar. Sejak bulan Agustus 2015 guru honorer yang bertugas tidak masuk lagi.
Semua perempuan-perempuan itu melahirkan dengan bantuan Mama Ester Urio, istri Bapa Lukas Urio, Kepala Suku setempat. Mama Priscila juga membantu dengan bekal ilmu kebidanan dasar sebagai kader PKK. Pos Kesehatan Kampung (poskeskam) ada wujud fisiknya, namun kosong berdebu tidak ada tenaga dan aktivitas. Hanya mantri yang datang dua minggu, atau satu bulan sekali, untuk periksa-periksa sekadarnya, itupun tak lebih dari dua hari.
Neri Urio, perempuan Urere beranak dua, mengatakan kelahiran adalah proses sangat menyakitkan di Urere. Perempuan ‘diasingkan’ ke hutan selama sepuluh hari, lima hari untuk proses kelahiran, lima hari berikutnya untuk semacam penyesuaian diri dan ‘penyembuhan’. Kadang mereka dibiarkan seorang diri.
Kasus kematian bayi terdengar niscaya dari cerita-cerita para Mama. Setidaknya satu orang bayi, terlahir meninggal di setiap keluarga. Kasus plasenta tertahan lazim terjadi pada kelahiran. Tidak ada pemeriksaan selama kehamilan, tindakan medis yang memadai selama persalinan, dan makanan cukup bergizi untuk menunjangnya. Semurina Urio masih mengalami sakit pasca melahirkan. Anaknya sudah menjelang setahun, tetapi sakit disekitar rahimnya tidak berhenti. Pinang muda yang biasa dikonsumsi untuk mempercepat penyembuhan juga tidak membantu.
Perkawinan di bawah umur lazim di tempat ini. Tak ada alternatif. Sekolah tidak jalan, tambahan pendapatan keluarga tidak ada. Wombu seperti sengaja dibiarkan tak berkembang. Padahal Dinas Pendidikan, kesehatan dan bidang perempuan sudah datang dan meninjau, tetapi tetap tidak bertambah fasilitas sosial untuk masyarakat kampung. Sementara akses jalan sudah dibuka untuk lalu lintas logging perusahaan HPH, pedagang-pedagang mainan, baju, kebutuhan rumah tangga juga lebih mudah datang dan pergi.
Perempuan-perempuan itu sedang bertahan di tengah daya pikat barang-barang konsumtif. Mobil-mobilan anak-anak ukuran kecil dijual tidak kurang dari Rp. 50.000. Minum-minuman keras menjadi wabah baru yang menyerang anak-anak muda dan para suami. Tingkat agresi menambah beban sosial di rumah tangga.
***
Sa tra mengerti kenapa dong tidak buat kantor sendiri. Asal dong bantu masak dan angkat air, ya biar suda.” Mama Suster, istri Kepala Distrik Naikere, mengatakannya sambil menjelaskan bahwa ada 29 orang TNI bermarkas di kantor Distrik saat itu.
Sebuah pos TNI yang entah bagaimana mengambil alih kantor Distrik dan dijadikan pos pemeriksaan orang-orang yang keluar masuk Kampung Wombu dan Sararti di Distrik tersebut. Setiap yang datang mesti melewati pengecekan sebelum bisa masuk ke Wombu. Suasana tidak seseram yang dibayangkan bila sanggup menawarkan fasilitas pada aparat di sana. Datanglah dengan Strada dan persiapan berburu, niscaya aparat akan ikut dan perjalanan ke Wombu jadi dimudahkan.
Wombu dan Sararti berada di wilayah konsesi pembalakan kayu PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS) seluas 115.800 Ha, yang berinduk pada Artha Graha Group. Sementara seluruh areal konsesi perusahaan tersebut berada di kawasan tanah adat orang-orang (suku) Mairasi dan Miere yang tersebar di enam kampung wilayah administrasi Distrik Naikere, termasuk Wombu dan Sararti.
Wilayah konsesi PT. KTS dahulu dimiliki oleh PT. Darma Mukti Persada (DMP), perusahaan yang menjadi sasaran protes orang-orang kampung terkait hak ulayat mereka pada tahun 2001. PT. DMP adalah salah satu anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia (KLI), yang dimiliki oleh konglomerat Gunawan Sutanto, salah satu kroni Soeharto. KLI memiliki lahan konsesi HPH terluas di tanah Papua, sekitar 1.313.185 Ha yang dikelola oleh 7 perusahaan HPH.
Izin IUPHHK-HA PT. KTS dikeluarkan Menteri Kehutanan pada tahun 2009 tanpa konsultasi dan restu masyarakat. “perusahaan tidak pernah membuat pertemuan dan surat kesepakatan pengolahan kayu yang mengikat secara hukum antara masyarakat dan perusahaan” demikian menurut Sarden Siweda, salah seorang tokoh masyarakat Wombu. Namun masyarakat tidak berani menolak kehadiran perusahaan karena trauma kekerasan masa lalu.
Pos TNI sudah lama berdiri di kawasan bekas areal PT. DMP itu. Sebelumnya mereka bermarkas di dekat Kampung Sararti, kemudian pindah ke kantor Distrik yang berjarak 45 menit berkendaraan dari Sararti. Pernah satu waktu, Pos TNI hendak dibangun lagi di dalam areal Kampung Wombu, namun Kepala Suku dan Kepala Kampung menolak tegas.
Bukan tanpa alasan pos TNI ada di Naikere hingga saat ini. Selain sebagai mitra perusahaan, Wombu, Sararti, Inyora, Undurara, hingga Ambumi di Distrik sebelah, adalah situs-situs rangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat Wasior Berdarah tahun 2001. Aktivitas-aktivitas masyarakat di kampung-kampung tersebut masih terus diawasi hingga kini.
Sekitar tahun 2013, pasukan TNI mendatangi Wombu, mengancam Kepala Kampung memberikan informasi tentang adanya pelatihan bersenjata di “atas”—sebutan terhadap areal pegunungan Inyora dan Undurara. Kepala Kampung Wombu, Noak Urio, marah atas kedatangan tentara tanpa permisi dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia mengatakan: “Mari kita lihat ke atas, kalau ada silahkan bapak tembak saya, tetapi kalau tidak, apa saya bisa tembak bapak? Jangan buat informasi sembarang.”







                      Foto oleh Zely Ariane
***
Setelah peristiwa 2001 kegiatan perusahaan terus berkembang, tetapi warga kampung sekitar PT. KTS tidak pernah hidup leluasa, pun tak ada peningkatan kesejahteraan. Perusahaan membayar uang debu kepada kepala kampung, sesekali subsidi bensin untuk menggerakkan genset. Tetapi uang tidak sebanding dengan batuk beringus, dan sesak napas akibat debu yang dihirup anak-anak dan perempuan di sekitar rumah, setiap kali kendaraan pengangkut kayu lewat. Seringkali mereka memilih menyingkir ke pondok-pondok di kebun untuk menghindari debu.
Trauma ketika melihat rombongan aparat keamanan berseragam yang datang tanpa keperluan pasti, atau lewat untuk berburu, telah membuat anak-anak dan perempuan tidak senang. “Tong tra takut, tapi kitong tra suka dong lewat bawa-bawa senjata,” demikian ujar Maria Urio dengan kesal.
Jarak ke kebun juga semakin jauh akibat perluasan areal perusahaan, ditambah tidak adanya layanan kesehatan, membuat beban rumah tangga perempuan bertambah besar. Ketika bertambah anggota keluarga yang sakit membuat mereka tidak bisa ke kebun, sehingga dapur tidak ada makanan. Berburu semakin sulit karena kalah saing dengan dengan senjata berburu para aparat keamanan. Hanya kehidupan kolektif yang membuat para perempuan ini bisa saling bantu agar dapur berisi. Mama Pricila, yang memiliki kebun kecil di belakang rumahnya, adalah tempat bertumpu bagi keluarga-kelurga yang butuh bantuan pangan ala kadarnya.
Mama Priscila termasuk yang memperkenalkan perempuan-perempuan Wombu pada dunia luar. Beberapa di antara mereka pernah dibawa ke Jayapura untuk mengikuti pelatihan dan kegiatan gereja. Awalnya para Ayah tidak suka, tetapi setelah kembali tampak Mama-Mama membawa perubahan yang lebih baik ke dalam keluarga, lalu mereka mendukungnya.
Perempuan-perempuan Urere ahli menganyam Somu atau Jawik (nama lain Noken dalam bahasa Mairasi). Somu dianyam dengan serat kayu Pohon Manitiare adalah kebudayaan asli perempuan-perempuan Mairasi. Di dalam aktivitas menganyam noken mereka menjadi pribadi-pribadi yang kokoh dan percaya diri. Cerita-cerita mengalir lancar sambil terus jari kaki dan tangan bekerja menganyam.
Noken Somu terkenal di Wondama karena sulit diperoleh. Mama-mama penganyam Somu membawa hasil anyamannya ke Wasior dan menitipkannya di kios-kios transit tempat mereka biasa berkumpul ketika turun ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan. Somu dijual sekitar Rp. 100 ribu-250 ribu bergantung ukuran.
Menggunakan Somu di Wasior adalah kebanggan, sekaligus keberpihakan: orang-orang yang menggunakannya sedikit banyak mengenal kekuatan orang-orang Somu. Pedalaman Undurara dan sekitarnya adalah tanah pertahanan, pelambang sejarah dan kekuatan yang masih dijaga suku besar Mairasi.
***
Rumah-rumah yang dibakar habis itu ada di kampung Ambumi. Berjarak satu setengah jam dari Wombu menumpang truk dilanjutkan dengan perahu motor. Di sanalah tempat beberapa warga Wombu meminta obat, juga bertempat tinggal. Ada warga Wombu menikah dengan warga Ambumi dan sebaliknya. Mereka memiliki rumah di kedua kampung, yang ditinggali oleh banyak keluarga. Baik di Wombu, maupun Ambumi, satu rumah berisi beberapa keluarga.
Ambumi adalah kampung terdekat yang memiliki satu-satunya perawat honorer bertahan tinggal di antara beberapa mantri dan perawat lain. Ibu perawat berasal dari Pangkep, telah 9 tahun menetap di sana hingga bertemu ayah dari dua puteranya. Hutang budi membuatnya memilih tetap tinggal mengabdi pada masyarakat. “Mereka sudah kasi sa makan, tidak mungkin sa tinggalkan.” Ia hanya bertugas memberi obat, dan memendam kesal pada Dinas Kesehatan yang tak juga menambah tenaga medis untuk pemeriksaan.
Ada sekitar 110 KK tinggal di Ambumi, terbagi menjadi dua kampung pasca peristiwa 2001. Keduanya termasuk dalam Distrik Kuriwamesa. Ambumi terkenal karena memiliki dusun buah, seperti langsat dan cempedak, juga dusun sagu. Dusun-dusun itu tak lagi produktif seperti sebelum peristiwa 2001.
Aliran dana dari program PNPM-Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) juga mengubah kebudayaan masyarakat kampung menjadi tidak produktif: menunggu dan mengkonsumsi. Ketegangan antar dua kampung juga dipicu oleh dana-dana bantuan; masyarakat dibuat saling curiga, kepedulian antar sesama dirusak. Bobo, minuman keras lokal, menjadi bisnis sampingan yang memperburuk relasi sosial.
Tinggal segelintir warga yang masih rajin mengembangkan kebun, dan mencari ikan atau udang, yang lain hidup dari menunggu aliran dana bantuan turun. Masyarakat Ambumi yang hidup dari menebar jaring dan Molo ikan, kini kalah bersaing di pasar dengan jejaring nelayan Buton yang lebih kuat modal dan pengalaman.
Mama Sambesi, pernah menjadi satu-satunya perempuan Komin (istilah untuk orang asli Papua) yang memiliki kedai besar di Ambumi. Bersama suaminya, seorang lelaki Buton yang sangat simpatik pada perjuangan orang-orang Papua asli, ia mengembangkan usaha dagang yang cukup sukses di Wasior. Kiosnya habis dibakar tentara, setelah isinya dijarah terlebih dahulu. “Tidak ada ganti rugi dari pemerintah sama sekali, sampai sekarang saya tidak bisa bangun kios lagi. Rasanya seperti kehilangan hidup dan harga diri, saya tak punya apa-apa lagi.” Mama Sambesi mengenang peristiwa penyerangan di hari celaka itu.
Mayoritas anak-anak Ambumi besar di pengungsian, tak sedikit di antara mereka baru bertemu keluarga setelah beberapa bulan kocar-kacir melarikan diri, dan ditampung oleh orang-orang yang perduli. Tak banyak yang mau menampung orang-orang Ambumi di kampung-kampung terdekat. Aparat keamanan telah lebih dulu menyebar berita teror bahwa pelaku pembunuhan 5 aparat Brimob pada 13 Juni 2001 berhubungan dengan orang-orang Ambumi dan Wombu.
***
Penyisiran dan serangan dilakukan pada pagi hari, beberapa hari setelah penembakan 13 Juni 2001, sesaat sebelum masyarakat melaksanakan ibadah Minggu. Ambumi dikepung dari laut, tembakan pecah dari berbagai pejuru. Masyarakat kocar kacir, lari mengungsi kemanapun dengan cara apapun.
Penyisiran dilakukan karena pada 13 Juni, 5 anggota Brimob penjaga Logpond PT. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Wondiboi, Wasior, diketemukan tewas dini hari. Tak satupun warga terdekat di lokasi tahu persis apa yang terjadi saat itu, mayat aparat pun tak mereka ketahui. Lokasi langsung diisolasi dan berita bercampur rumor, yang menuding bahwa TPN-OPM ada di balik penyerangan itu, menyebar secepat kilat ke seluruh penjuru Wasior.
Masyarakat dijadikan sasaran amuk para brigadir bersenjata. Mencari TPN-OPM dengan membongkar rumah, membakar tempat ibadah, mengejar semua yang hidup dan tampak mencurigakan, menyiksa, dan membunuh.
Wasior diisolasi. Para pengungsi menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing hingga ke Bintuni, Kaimana, Manokwari, Nabire, dan Serui. Para pengungsi dipaksa hidup berbulan di Dusun Sagu, di dalam hutan; makan seadanya; melahirkan sebisanya. Orang-orang dibuat saling tuduh dan curiga.
Peristiwa ini terjadi berangkaian sejak Maret 2001 hingga Oktober 2001. Terdapat 4 kasus pembunuhan; 39 kasus penyiksaan termasuk yang menimbulkan kematian; 1 kasus perkosaan; dan 5 kasus penghilangan paksa, ditambah kematian dan penyakit selama pengungsian serta kehilangan dan pengrusakan harta milik. Penyisiran tersebut dilakukan atas perintah resmi Polda Papua dengan dukungan Kodam XVII Trikora lewat Operasi “Tuntas Matoa”.
Setahun warga tinggalkan Ambumi, tak berani kembali. Sebagian menetap satu tahun di pulau Yerenusi, 20 menit berperahu dari Ambumi. Mereka tinggal seadanya, beratap daun kelapa tanpa dinding. Sekembali ke Ambumi, kampung terbagi dua: Ambumi dan Yerenusi. Yerenusi menjadi kampung baru di Ambumi, karena mereka datang dari pengungsian di Pulau Yerenusi. Tidak ada bantuan dari pemerintah, hanya alam yang melindungi dan beri hidup.
Peristiwa Wasior Berdarah kini diperingati di Teluk Wondama setiap tanggal 13 Juni. Tetapi peringatan tersebut bukan untuk pengakuan dan reparasi hak-hak korban, yang sampai saat ini masih dilupakan. Peringatan tersebut ditujukan sebagai hari pengampunan “kesalahan masyarakat dan TPN-OPM”. Alasan yang sukses dijadikan kambing hitam untuk menyebar teror ketakutan, sebuah senjata pamungkas kuasa NKRI terhadap Papua.
Kerugian material sampai sekarang tidak ada yang mengganti. Hanya sebuah gereja baru yang berdiri dibangun pemerintah sebagai ganti sekaligus pelipur lara. Tidak ada pengakuan atas kejahatan yang dilakukan negara pada ratusan orang yang terpaksa pindah tinggal dan mengungsi.
Kasus Wasior adalah salah satu kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang diputuskan oleh penyelidikan Komnas HAM. Tapi sampai sekarang tak terdengar upaya peradilannya. Berkas-berkas saling lempar antara KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung karena alasan-alasan administratif. Tahun lalu terdengar kabar bahwa pemerintah akan memilih jalan rekonsiliasi.
Mama Jo Warikar, yang mesti berpisah dari suaminya selama berbulan-bulan karena dicari aparat, mengatakan: “Kami membangun rumah kembali dengan keringat sendiri. Sampai saat ini pun masih ada Mama yang masih tinggal di Balai Kampung dan menumpang pada keluarga dekat. Kami belum menyerah, komunitas korban belum lelah menuntut keadilan. Walau trauma ini menyakitkan, tetapi kami tidak takut.”***

 

Warga Temukan Mayat Laki-Laki Di Jalan Masuk SMK Petra Nabire

Kepolisian Resor Nabire Sektor Nabire Kota, menerima Laporan dari masyarakat Rabu (08/06), telah ditemukan sesosok korban laki-laki dengan posisi tengkurap.

Sesosok laki-laki ini ditemukan di jalan masuk Sekolah SMK Petra Smoker Kelurahan Siriwini bawah yang diperkirakan sudah dalam keadaan Meninggal Dunia.

Pada saat itu juga anggota Polsek Nabire Kota yang dipimpin oleh Kapolsek Kota Kompol Steven Liatpasen tiba di TKP dimana langkah-langkah yang diambil, mengamankan TKP, Melakukan Pulbaket untuk cari keterangan dari saksi-saksi di sekitar TKP, Mengambil dokumentasi Korban, Melapor ke Mapolres Nabire untuk disampaikan kepada bagian Identifikasi.

Pada pukul 12.15 Wit tim identifikasi Polres Nabire tiba di TKP kemudian memeriksa kondisi Korban dan di pastikan Korban sudah dalam keadaan meninggal dunia.

Identitas Korban dan Saksi-saksi, YB 21 th ( Korban ), EB, 54 th ( Ortu / Saksi), MS, 39 th, ( Pelapor / Saksi).

Selanjutnya tindakan yang diambil oleh Polres Nabire dan Jajaran, Korban langsung di bawa ke RSUD Nabire (Ruang Jenazah) untuk di lakukan Visum.

Saksi-saksi sementara di bawa ke Polsek Nabire Kota guna pembuatan Laporan Polisi dan dimintai keterangan (BAP).

Serta Kapolsek Nabire Kota Kompol Steven Liatpasen, memberikan arahan kepada keluarga Korban untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan masalah lain yamg menyulitkan penyelidikan ke depan, karena kejadian ini sudah dalam penanganan pihak Kepolisian.

(Humas Polres Nabire)

0
WENE - PAPUA - Kebencian masyarakat Indonesia dengan negara  mayoritas muslim terhadap Israel hingga kini masih ada sehingga hubungan diplomasi kedua negara pun tidak pernah terjalin. Menanggapi hal itu, Organisasi Israel melayangkan protes keras terhadap mayarakat Indonesia.

organisasi Israel Public Affairs Comitte (IIPAC) memperingatkan masyarakat Indonesia agar mengedepankan perdamaian kala berbicara soal Israel. Mereka meminta Indonesia tak terus menyudutkan Israel. IIPAC merujuk polemik kunjungan sejumlah tokoh Indonesia ke Israel yang kemudian memantik protes masyarakat.

Direktur Indonesia Israel Public Affairs Comitte (IIPAC), Benjamin Kethang mengatakan jangan sampai Indonesia memancing peperangan. Sebaliknya, bila berbicara kepada Israel lebih baik didasari perdamaian. "Perang yang saya maksud itu, misalnya kita disabotase telekomunikasi, teknologi. Karena kita tahu siapa yang menguasai itu (Israel dan yahudi)," ucap Benjamin.

Dalam pernyataannya, dia pun memperingatkan agar Indonesia jangan terus menghujat Yahudi dan Israel. Menurutnya, selama ini Israel dan yahudi masih diam meladeni sikap Indonesia. Sejauh ini, kata dia, Israel masih melihat Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Keinginan Orang Papua Bukan Main - Main

SAPA (JAYAPURA) – Gubernur Papua Lukas Enembe mengingatkan keinginan orang Papua bukan main – main. Keinginan itu seperti bagaimana proteksi mereka, pemberdayaan mereka serta  masalah ideologi mereka.

“Orang di Papua ini bukan berjuang karena masalah kemiskinan. Di halamannya saja ada emas kok. Dia berbicara soal ideologi. Ideologi ini ada didalam konsep yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi Papua. karena kita yang tau persoalan. Karena semua kerja di Papua ini semua OPM. Tau permasalahan maksudnya,”kata Gubernur Papua kepada pers di Jayapura beberapa waktu lalu.

Sebab menurutnya jika persoalan ini tidak kunjung diselesaikan maka masalah Papua tidak pernah akan selesai.

“Jadi jangan kalau tidak mendengar aspirasi kita tidak usah urus sudah. Kasih tinggal sudah. Bukan makan minum,”selanya.

Katanya lagi dalam konsep itu ada didalam Otsus Plus. Untuk itu dirinya meminta kepada pemerintah pusat agar mempelajarinya secara baik – baik untuk segera disahkan.

“Kalau tidak. Maka persoalan ini tidak akan selesai. Selama orang Papua masih ada. Maka itu tidak akan selesai.  Makanya dengar kami soal Otonomi khusus Plus,”tukasnya.

Gubernur memberikan sinyal kedatangan mantan pejuang Timor Leste Ramos Horta dan juga kedatangan tokoh gereja Katolik yakni para Uskup di kawasan Pasifik berkunjung ke Jayapura – Papua awal tahun ini. 
Semua di Otsus Plus

Selain itu juga Gubernur Papua Lukas  Enembe juga mengklaim  Presiden Jokowi telah memberikan lampu hijau yang memberikan seluruh kepercayaan mengatur sumber daya alam di Papua kepada daerah.

“ Tidak perlu ijin Jakarta. Kalau sudah mandek atau bermasalah. Baru menghadap saya,”kata Gubernur menirukan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.

Kata Lukas, sumber daya alam Papua bisa dikelola sendiri, yang nantinya akan ada regulasinya.

“Saya juga sudah sampaikan kepada gubernur bahwa semuanya ada di Otonomi Khusus. Bapak (Presiden-red) pelajari ulang. Kalau tidak setuju kembalikan. Akan tetapi kalau setuju pakailah UU Otsus Plus. Regulasinya harus ada di UU Otsus,”ucapnya.

Gubernur juga menepis keraguan dari pusat dimana ada pasal yang meminta referendum.

“Tidak ada itu kita sudah delete semua mengenai pasal yang berbicara kemerdekaan. Semua sudah kita coret. Yang tersisa hanyalah kebijakan anggaran di 28 sektor. Itu semuanya untuk kepentingan Papua. Nanti bapak pelajari mana yang baik, baru  kalau bisa akan menjadi regulasi Papua,”tuturnya. (maria fabiola)