selamat datang dan salam berjuang Free West Papua.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) SEKTOR TANGERANG BANTEN

-->

Selasa, 26 Juli 2016

Hanya AMP Saja Yang Angkat Kaki, Mahasiswa Papua Lain Tidak

Hanya-amp-yang-angkat-kaki-mahasiswa-papua-lain-tidakYogyakarta, PAPUANEWS.ID – Terkait rencana mahasiswa Papua meninggalkan Yogyakarta karena merasa tak aman. Pemerintah Provinsi Papua mengirim utusan bersama DPRD setempat ke Yogyakarta untuk membicarakan masalah jaminan keamanan bagi para mahasiswa yang menuntut ilmu di sana. Hal ini disampaikan Sekretaris Daerah Pemprov Papua Hery Dosinaen saat ditemui seusai menghadiri Rakernas Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) di Jayapura, Senin (25/7/2016).
“Gubernur Papua Lukas Enembe mengutus perwakilan ke Yogyakarta untuk membicarakan masalah jaminan keamanan bagi para mahasiswa yang menuntut ilmu di sana, Gubernur juga telah berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengatasi masalah anak-anak Papua yang menuntut ilmu di Yogyakarta,” kata Hery.
Selain itu, Hery menambahkan bahwa tidak semua Mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta akan pindah dari kota pendidikan itu, lebih jelasnya Mahasiswa yang akan pindah hanya mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saja.
Hal itu dibenarkan oleh hery ketika dikonfirmasi seusai menghadiri Rakernas Perhimpunan Mahasiswa Katolik (PMKRI) di Jayapura, Senin (25/7/2016).
“Mahasiswa Papua di Yogyakarta kabarnya mau angkat kaki dari Yogya, itu tidak benar, tidak semua mau pindah hanya mahasiswa yang tergabung dalam AMP saja, mereka katanya tidak aman di Yogya. Selama ini kita pemerintah daerah juga sudah mengetahui AMP itu seperti apa? Mereka itu mahasiswa yang penuh akan pemikiran kritis namun selalu bermuara ke separatis, dan bapak Gubernur Papua sendiri juga sudah berkoordinasi dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk mengatasi masalah tersebut,” ucap Hery.
Kendati demikian Hery juga menjelaskan Mahasiswa Papua di AMP ini merasakan setelah mereka merasa tidak aman setelah beberapa waktu lalu di asrama Papua menggelar aksi unjuk rasa damai untuk menuntut masuknya organisasi United Liberation Movement for West Papua dalam perkumpulan negara Melanesia (MSG) sehingga oleh aparat keamanan dan sejumlah ormas pada 15 Juli 2016 mendapat pengepungan dan penangkapan terhadap mahasiswa Papua.
“Mahasiswa Papua yang tergabung dalam AMP inilah yang membuat Yogyakarta tidak aman bagi para pelajar Papua lain, AMP yang melakukan aksi demo separatis mendukung ULMWP masuk MSG, namun akibat dari ulah AMP, Mahasiswa Papua lain yang tidak ikut juga terkena imbasnya.” tutup Hery. (Red.AK)

Jumat, 22 Juli 2016

Yogyakarta | Fri, July 15 2016 | 09:52 pm 

 Polisi menangkap tujuh mahasiswa Papua, mencegah demo

Polisi mengepung mahasiswa Papua di asrama mereka di Yogyakarta untuk mencegah mereka dari menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan oleh Persatuan Rakyat untuk Kebebasan Papua Barat (PRPPB).
Polisi mengamankan asrama di Jl. Kusumanegara Jumat dari pagi hingga sore dan menangkap tujuh dari siswa.
Acara PRPPB adalah mendukung Gerakan United Liberation untuk (ULMWP) tawaran Papua Barat untuk menjadi anggota penuh dari Melanesia Spearhead Group (MSG).
Juru bicara PRPPB Roy Karoba kepada The Jakarta Post bahwa ratusan siswa, yang disimpan di asrama sejak Jumat pagi, tidak makan dan ambulans Palang Merah Indonesia menyampaikan makanan dicegah dari memasuki asrama. "Ambulans tidak diizinkan masuk [asrama]. Ini kiri setelah diskusi dengan polisi, "kata Roy.
Awalnya, para siswa berusaha untuk mengatur pertemuan di Titik Nol (Zero Point) di pusat Kota Yogyakarta, tetapi polisi tidak mengizinkan mereka untuk melaksanakan rencana mereka. Mereka kemudian memutuskan untuk mengatur acara kebebasan berbicara di asrama.
Polisi menangkap sedikitnya tujuh siswa, menyita bendera Bintang Kejora dan sepeda motor. Polisi juga menembakkan tembakan peringatan dalam bentrokan antara aparat dan mahasiswa. Empat mahasiswa ditangkap ketika mereka membeli makanan di pasar Giwangan.
Ketegangan di asrama meningkat ketika melawan aktivis dari Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Anak Veteran Indonesia (FKPPI) dan organisasi massa Paksi Katon tiba di lokasi untuk mendukung polisi.
departemen intelijen kepala Komisaris Besar Polisi Yogyakarta. Wahyu Dwi Nugroho menegaskan bahwa polisi tidak mengizinkan acara di Titik Nol. "Hal ini demi keamanan," katanya, menolak untuk berkomentar lebih lanjut.
Emanuel Gobay Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta (LBH Yogyakarta) mengkritik polisi untuk mencegah siswa dari melakukan demonstrasi mereka, mengatakan bahwa hal itu melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. (BBN)
LBH Jakarta Mengecam Kasus Rasisme dan Sikap Kepolisian Terhadap Orang Papua
Sreen shot cuplikan video tanggapan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta 16/07/2016. Gambar: Eriick/WANI 
Jakarta, Tabloid-Wani -- LBH mengecam kasus Rasisme yang dilontarkan oleh Ormas bersama Polisi terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta pada hari Jumat 15/07/2016.
Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, ungkapan "monyet lah, anjing, babi itu merupakan kekerasan Verbal Rasial dan melanggar fungsi Polisi"

"Sejak april hingga hari ini dalam jangka waktu tidak sampai empat bulan itu sudah ada lima ribu lebih orang Papua ditangkap, dan semua sudah ada laporan, nah jadi ini represinya makin tinggi terhadap orang Papua"

Melihat hal tersebut LBH Jakarta sangat perihatin terhadap perlakuan tidak menusiawi terhadap orang Papua yang dilakukan oleh kepolisian dalam hal ini Polri, dan Poda di beberapa daerah.

"Jadi untuk itu, atas kejadian saya mewakili LBH Jakarta dan Papua itu Kita mengecam Kapolri, Kapolda Yogyakarta, Kapolda Makasar atas perlakuan sewenang-wenang Polisi dan juga abuse of power yang dilakukan oleh orang-orang di Polisi ini luar biasa jahat, karena sampai ada orang yang mau makan itu dihalang-halangi itu luar biasa, dan juga Pengepungan tanpa dasar"

Dalam situasi seperti ini, presiden Jokowi selaku kepala negara harus membuka diri dan bersikap terkait penekanan sewenang-wenang yang dilakukan ini, karena eskalasinya semakin lama meningkat drastis.

"Jokowi juga harus bersikap atas represitasis yang sitematis kepada orang Papua, sejak dari penangkapan yang terjadi sejak bulan april yang terus menerus, karena ini eskalasinya terus meningkat. Ini Jokowi mau tutup sampai kapan baru dia tidak bertindak itu"

Berikut ini cuplikan video tanggapan dari LBH Jakarta Mengenai Kasus Rasisme dan Sikap Kepolisian Terhadap Orang Papua

Kamis, 21 Juli 2016

Diam-Diam "Sejumlah Tokoh Papua Bertemu Gubernur DIY Teguhkan Komitmen Kebersamaan dan Kedamaian




Yogyakarta: Sejumlah Tokoh Papua bertemu Gubernur DIY Sultan HB X di Kepatihan Yogyakarta, Kamis (21/7/2016). 

Tokoh papua yang hadir bertemu Gubernur DIY diantaranya Pembela hak asasi manusia - Mateus Murib, bersama sejumlah tokoh Papua lainnya yakni Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia - Pendeta Pil Erari, Ketua Pemuda Adat Papua - Deki Ofidei, Kepala Suku besar Papua Ondo afi - Boy Eloai. 

"Pertemuan kami dengan Bapak Sultan meneguhkan kembali pentingnya menjaga kebersamaan, dan rasa damai yang sebenarnya sudah diciptakan selama ini. Gangguan-gangguan yang sempat terjadi diharapkan tidak terulang kembali," jelas Mateus Murib, Juru Bicara Perwakilan Tokoh Papua usai bertemu Gubernur DIY, di Kepatihan Yogyakarta, Kamis (21/7/2016).

Dikatakannya, kedatangan lebih dari 6 ribu pelajar dan mahasiswa asal Papua ke Yogyakarta adalah fokus utamanya untuk belajar menempuh pendidikan. 

"Sehingga aktivitas lain diluar studi apalagi politik, itu kami masyarakat Papua juga tidak menghendaki aspirasi demikian itu (red:separatis terjadi di kota ini. Karena itu bertentangan dengan hukum di negara kita. Begitu pun, asrama mahasiswa Papua kita harapkan ditertibkan, sehingga yang menghuni asrama itu untuk mencari ilmu pendidikan dan statusnya jelas-jelas mahasiswa. Non mahasiswa harus ditertibkan. Sehingga ke depan ulah-ulah beberapa orang itu, tidak mengganggu rasa nyaman kita semua. Sehingga kami jauh-jauh Papua harus kesini. Orang Yogyakarta harus mempermasalahkan seperti ini," papar Mateus Murib yang juga Ketua Pembela Hak Asasi Manusia Papua ini. 

Mateus juga menyatakan perlunya kesadaran akan tanggung jawab menjaga keadilan dan kedamaian pada diri semua masyarakat. 

"Kuncinya, rasa adil, rasa damai ada dalam kita semua. Harus dijaga kita semua, tanggung jawab kita bersama. Tidak perlu mencari siapa salah, siapa benar, tapi membicarakan suasana ke depan yang lebih baik untuk semua pihak," tegasnya.

Sementara itu, Sri Sultan HB X Gubernur DIY memghimbau pelajar dan mahasiswa Papua di Yogyakarta, fokus menempuh pendidikan.

"Kita clear, bagi saya tidak ada masalah anak anak Papua itu. Hanya saja sekarang anak-anak itu ya sekolah, sekolah yang baik lah. Jangan bicara politik. Sudah selesai kok," katanya.

Raja Kraton Yogyakarta ini juga mengaku tetap menganggap masyarakat Papua di Yogyakarta sebagai keluarga bahkan anak sendiri.

"Mahasiswa ini anak muda, yang kita orang tua wajib mengingatkan. Kalau belum memahami, ya sekali-kali ditegur supaya ingat. Kalau sudah bisa kembali ke posisi ya sudah selesai. Itu aja. Jangan dianggap ini masalah politik, pertentangan suku. Bukan itu. Ya kita anggap, saya orang tuanya mereka. Dia anak muda perlu diberi pemahaman. Sudah selesai. Jadi, tidak ada sesuatu sifat benci, atau tidak senang," tegas Sultan. 

Sumber : Wuri Damaryanti Suparjo
 RRI Yogyakarta

By Jangkrik

Kamis, 21 Juli 2016

Indonesian police under fire over arrest of Papuan students, racial abuse

Jefry Wenda, coordinator of a Papuan students group covering Java and Bali ... the Papuan students in Yogyakarta have been left traumatised by police behavior. Image: Ryan Dagur/UCA
By Ryan Dagur in in Jakarta
Indonesian Church officials and activists have accused police in Yogyakarta of racism and using excessive force after six Papuan students were arrested for singing Papuan songs in their college dormitory.
“Police officers must be fair. They must protect Papuan people too,” Father Paulus Christian Siswantoko, executive secretary of the Indonesian bishops’ Commission for Justice, Peace and Pastoral for Migrant-Itinerant People, said.
“The government has the task to protect all citizens and disregard their ethnic background,” he said.
Police say they surrounded the dormitory belonging to Yogyakarta’s College of Community Development on July 15 to prevent a number of Papuan students from attending a banned rally organised by the People’s Union for West Papua Freedom.
The rally was aimed at supporting a bid by the Papuan nationalist group, the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), to join the Melanesian Spearhead Group.
The group is an intergovernmental organisation comprising Fiji, Papua New Guinea, Solomon Islands and Vanuatu, as well as the Kanak Socialist National Liberation Front, a political party from New Caledonia. The ULMWP currently has observer status.
The Papuan students said they initially planned to hold the rally in the city center, but decided instead to sing some Papauan songs at the dormitory after organisers failed to obtain a rally permit from local police.
Tear gas
Police allegedly used tear gas on the students before arresting them.
During the arrest it is alleged officers manhandled and racially abused the students, who were also subjected to racial taunts by local pro-Jakarta activists who had gathered to support the police as the drama unfolded.
All the students were later released on July 17 following questioning.
“Police officers must not let racial abuse happen,” said Father Siswantoko.
He said the students had the right to express their views.
“They didn’t even stage a rally, but their voices were silenced anyway,” he said, adding that there is deep-seated prejudice by locals against Papuans.
Risky Hadur, a Catholic student activist also denounced the police action.
Left traumatised
“We express our deep condolences to the death of humanity and brotherhood in this nation.”
The students were left traumatised by the incident, according to Jefry Wenda, coordinator of a Papuan students’ group covering Java and Bali.
“Police officers and other people shouted at them and called them ‘pigs’ and ‘monkeys,'” he said, calling on the government to put a stop to abuses against the Papuan people.
National Commission on Human Rights official Natalius Pigai said the incident would be investigated.
“We must not let such racial discrimination happen,” he said. “We will send a team next week to Yogyakarta to investigate.
Ryan Dagur is a contributor to the Union of Catholic Asian News service.

Jumat, 08 Juli 2016

Jumat, 08 Juli 2016

Pangdam: Bupati Puncak Jaya sangat perhatikan prajurit TNI

Bupati Puncak Jaya Henock Ibo bersama Gubernur Papua Lukas Enembe dan Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw ketika meninjau di Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya ((foto Antara Papua/Hendrina Dian Kandipi)

     "Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana"
Jayapura (Antara Papua) - Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian menyampaikan bahwa Bupati Puncak Jaya Henock Ibo sangat memperhatikan prajurit TNI yang bertugas di daerah itu sehingga pantas disebut "orang tua TNI".
"Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana," kata Pangdam Hinsa Siburian di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut dia, penyebutan sebagai "orang tua TNI" pantas disematkan kepada Bupati Henock Ibo karena bukti nyata yang diberikan bukan saja kepada prajurit TNI, tetapi kepada personil Polri yang bertugas di Puncak Jaya.
"Lihat saja, sehari sebelum pelaksanaan Idul Fitri 1437 Hijriah, Pak Henock Ibo memberikan bingkisan lebaran, berupa uang tunai sebesar Rp15 juta tiap pos TNI yang ada di Puncak Jaya," katanya.
Dana sebesar itu, kata Pangdam, memang terbilang cukup besar, tetapi dengan biaya kemahalan hidup yang ada di Puncak Jaya, maka tidaklah cukup untuk keperluan prajurit. 
"Pak Henock sampaikan bahwa dana itu untuk memberikan motivasi kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di Puncak Jaya karena telah mendukung menciptakan situasi yang kondusif sehingga pembangunan berjalan dengan aman dan lancar," katanya.
"Dana itu, kata Pak Henock untuk belikan ayam di hari raya Idul Fitri. Saya sebagai pimpinan tentunya apresiasi jika ada kepala daerah yang mengapresiasikan tugas kami dengan baik. Intinya, tidak boleh meminta, tugas dilaksanakan karena sudah menjadi kewajiban," ujarnya.
Panglima TNI dan Kasad, kata Pangdam, juga memberikan bingkisan lebaran dan dana kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di daerah terpencil, terjauh, terdepan dan terluar.
"Saat saya kunjungan kerja ke Puncak Jaya, saya menyampaikan bingkisan yang dititipkan oleh Panglima TNI dan Kasad kepada prajurit di lapangan. Para prajurit juga senang," katanya.
Selain itu, kata Pangdam, Bupati Henock Ibo juga menghibahkan lahan milik Pemkab Puncak Jaya kepada TNI melalui Kodam Cenderawasih untuk pembangunan Markas Kodim 1714/Puncak Jaya serta lahan untuk perumahan prajurit.
"Lahan pembangunan rumah dinas Kodim Puncak Jaya itu, tepat di belakang Pasar Nagamuloni. Dan sudah dibangun 23 unit, 15 sumbangan dari Menteri PU PERA dan sisanya dari Zidam," katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (6/7), Pangdam Cenderawasih dan Asops Kolonel Inf Rudi Runtuwene di dampingi Bupati Henock Ibo menyambangi prajurit TNI yang bertugas sebagai satuan tugas (Satgas) pengamanan daerah rawan (Pamrahan) di Puncak Jaya.  (*)
Sumber : Alfian Rumagit,,http://www.antarapapua.com/berita/456140/pangdam-bupati-puncak-jaya-sangat-perhatikan-prajurit-tni

Jumat, 08 Juli 2016

Pangdam: Bupati Puncak Jaya sangat perhatikan prajurit TNI

Bupati Puncak Jaya Henock Ibo bersama Gubernur Papua Lukas Enembe dan Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw ketika meninjau di Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya ((foto Antara Papua/Hendrina Dian Kandipi)

     "Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana"
Jayapura (Antara Papua) - Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian menyampaikan bahwa Bupati Puncak Jaya Henock Ibo sangat memperhatikan prajurit TNI yang bertugas di daerah itu sehingga pantas disebut "orang tua TNI".
"Pak Bupati Henock Ibo itu sudah menjadi orang tua TNI di Puncak Jaya. Beliau sangat peduli dan memperhatikan keberadaan kami di sana," kata Pangdam Hinsa Siburian di Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Menurut dia, penyebutan sebagai "orang tua TNI" pantas disematkan kepada Bupati Henock Ibo karena bukti nyata yang diberikan bukan saja kepada prajurit TNI, tetapi kepada personil Polri yang bertugas di Puncak Jaya.
"Lihat saja, sehari sebelum pelaksanaan Idul Fitri 1437 Hijriah, Pak Henock Ibo memberikan bingkisan lebaran, berupa uang tunai sebesar Rp15 juta tiap pos TNI yang ada di Puncak Jaya," katanya.
Dana sebesar itu, kata Pangdam, memang terbilang cukup besar, tetapi dengan biaya kemahalan hidup yang ada di Puncak Jaya, maka tidaklah cukup untuk keperluan prajurit. 
"Pak Henock sampaikan bahwa dana itu untuk memberikan motivasi kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di Puncak Jaya karena telah mendukung menciptakan situasi yang kondusif sehingga pembangunan berjalan dengan aman dan lancar," katanya.
"Dana itu, kata Pak Henock untuk belikan ayam di hari raya Idul Fitri. Saya sebagai pimpinan tentunya apresiasi jika ada kepala daerah yang mengapresiasikan tugas kami dengan baik. Intinya, tidak boleh meminta, tugas dilaksanakan karena sudah menjadi kewajiban," ujarnya.
Panglima TNI dan Kasad, kata Pangdam, juga memberikan bingkisan lebaran dan dana kepada prajurit TNI dan Polri yang bertugas di daerah terpencil, terjauh, terdepan dan terluar.
"Saat saya kunjungan kerja ke Puncak Jaya, saya menyampaikan bingkisan yang dititipkan oleh Panglima TNI dan Kasad kepada prajurit di lapangan. Para prajurit juga senang," katanya.
Selain itu, kata Pangdam, Bupati Henock Ibo juga menghibahkan lahan milik Pemkab Puncak Jaya kepada TNI melalui Kodam Cenderawasih untuk pembangunan Markas Kodim 1714/Puncak Jaya serta lahan untuk perumahan prajurit.
"Lahan pembangunan rumah dinas Kodim Puncak Jaya itu, tepat di belakang Pasar Nagamuloni. Dan sudah dibangun 23 unit, 15 sumbangan dari Menteri PU PERA dan sisanya dari Zidam," katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (6/7), Pangdam Cenderawasih dan Asops Kolonel Inf Rudi Runtuwene di dampingi Bupati Henock Ibo menyambangi prajurit TNI yang bertugas sebagai satuan tugas (Satgas) pengamanan daerah rawan (Pamrahan) di Puncak Jaya.  (*)
Sumber : Alfian Rumagit,,http://www.antarapapua.com/berita/456140/pangdam-bupati-puncak-jaya-sangat-perhatikan-prajurit-tni

Kamis, 07 Juli 2016



CERITA PENDEK KU
 
Dulu kau bilang akulah orang yang paling kamu sayang dulu kau bilang hanya aku yang ada di hatimu dulu kau bilang takkan ada yang lain di hatimu dan saat itu aku percaya dengan semua kata-katamu Kini semua telah terlihat jelas dimataku...
apa yang kau katakan...apa yang kau janjikan...apa yang kau berikan kepadaku...semua hanya untuk sesaat...tidak ada lagi kebahagiaan yang kurasakan saat ini...
hanya perih dan luka yang saat ini selalu menyelimutiku...bayang-bayangmu selalu datang menghantuiku...di setiap langkahku...di setiap nafasku...dan di setiap hariku...
aku selalu memikirkan dirimu...ingin rasanya melupakanmu...ingin rasanya membenci dirimu...dan ingin rasanya membuang jauh-jauh kisah cinta kita berdua...tapi sangatlah sulit untuk melakukan semua itu...karena kaulah cinta pertamaku...
 
 
 


aku bingung apa yang harus aku lakukan. aku tau aku sangat menyanginya dan aku ingin selalu bersamanya, namun jika meng dia bukan untuk aku, aku ikhlas untuk melepaskannya. Harapanku jika dia bukan untuk aku, semoga dia bisa mendapatkan yang lain sebagai pengganti aku, yang bisa menyayanginya, lebih dari aku menyayanginya, menjaganya dengan seluruh jiwa raga dan memberikan masa depan yang lebih cerah untuknya...

ini adalah pertama kalinya aku membuat karya tulisanku sendiri, walaupun hanya sebuah cerita pendek, namun kisah ini sangatlah berarti untukku...
saat aku menuliskan semua isi hatiku di atas secarik kertas putih yang mungkin akan menjadi sebuah kenangan pahit masa lalu yang tak akan
terlupakan olehku, air mataku pun berlinang, tak kuat lagi aku menahan rasa sedih yang kurasakan saat ini...
mudah-mudahan dengan menulis cerpen ini, dia dapat mengerti perasaanku dan tau bahwa aku sangat mencintai dirinya.oh....papuaku
aku memang tak bisa memberi harapan pasti untuk dia, tapi aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik untuknya...
Kisah ku ini adalah kisah yang berawal dari perkenalan yang sangat singkat, yang akhirnya menjadi sepasang kekasih, saat itu sebenarnya aku tidak
ada rasa Cinta dan sayang kepada dirinya, namun hari demi hari kulalui bersama dia, bunga-bunga cinta pun tumbuh di hatiku, entah apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya...
masa-masa itu begitu sempurna dan indah, hati yang berbunga-bunga, penuh dengan kebahagiaan, penuh dengan keceriaan,dan tawa canda yang kita alami bersama...
namun kebahagiaan itu hanya sesaat ketika seorang sahabat cowok yang kembali dari masa lalunya...Free west papua

hari ini sangat cerah sekali, matahari bersinar, awan-awan berlalu lalang di atas langit dan burung-burung pun berkicau, hari yang indah untuk bersama dengan orang yang kita sayangi. tapi tidak untukku, karena orang yang paling aku sayangi sebut saja Papua telah di ambil dari pelukanku .lupa tanggal berapa tepatnya.

makin penasaran dengan PAPUA itu, terbesit di pikiranku "apa aku retas saja ya facebook dan emailnya ?" maklum, aku di kenal seorang hacker dengan teman-teman sekelasku. Lalu akupun bergegas menuju Kenegara sendiri, singkat cerita aku sudah meretas account facebooknya dan sudah memasuki beranda miliknya, aku buka kembali
Untuk papua, ketahuilah, bahwa aku masih sayang sama kamu, aku masih cinta sama kamu, aku masih mengharapkan kamu kembali kepelukan aku, kamu masih ingat kan Cha dengan semua impian-impian kita, yang telah kita rajut bersama, jangan kau lupakan impian-impian kita papua, aku ingin menggapai impianku bersama kamu, bagiku kamu adalah satu-satunya orang yang aku sayangi, enggak ada orang lain di hatiku papua, aku akan slalu setia menunggu kamu.

dulu aku tidak bisa menangis, tapi kali ini air mataku kupersembahkan hanya untuk kamu papua, I love you Forever my first love, aku sayang kamu papua, walaupun cacian dan makian kau berikan kepadaku, tapi aku slalu bersabar menanti dirimu (FREE WEST PAPUA)

Senin, 04 Juli 2016

SEJARAH LAHIRNYA OPM

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu “proklamasi OPM” yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan “proklamasi OPM” serta “pengibaran bendera OPM” yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah “Papua Barat”, seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara “Melanesia Barat”. Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara — tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM — mendapat perhatian luas.
DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, “proklamasi OPM” kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, “Mavik”.
Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “makar”. Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus “proklamasi Sorong-Samarai”, yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh “modal alam” yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para “cikal-bakal” Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons masyarakat Irian — baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung — terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi — dan juga, rearrangement — lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu “bungkus kultural” bagi “bahaya laten” nasionalisme Papua.
Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang “subversif” atau bersifat “makar”, ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya – Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan “kunci” untuk membongkar jaringan “OPM kota” itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.
Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian — Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref — yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi “Menteri Pendidikan & Kebudayaan” mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang “konoor modern”, merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno (“Ninoy”) Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, “proklamasi dan pengibaran bendera OPM” yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera “Melanesia Barat” yang dikibarkannya, berbeda dari bendera “Papua Barat” yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera “Papua Barat” yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil “Meneer Blauwwit”, mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya — merah, putih, dan biru — meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur “pribumi” pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga “lagu kebangsaan” OPM berjudul “Hai Tanahku, Papua”, yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan “wawasan nasional” atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap “berbahaya” dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian

Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat





































Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem  sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai  sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.

Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:



PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.

Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
 
Aksi  Damai Dalam  Memperingati Hari Hut kemerdekaan Papua Barat, 01 Juli 1971 Tanggal 01 Juli 2016, di Istana Negara Jakarta Pusat.  Aliansi Mahasiswa Papua (kk AMP Jakarta dengan AMP sektor tangerang).