selamat datang dan salam berjuang Free West Papua.

ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP) SEKTOR TANGERANG BANTEN

-->

Rabu, 08 Juni 2016


Setelah Dikonfirmasi! Direktur PIANGO Akui "Ketemu Sekjen PBB Secara Tidak Sengaja"
Direktur Eksekutif PIANGO, Emele Duituturaga, yang mengaku telah menyerahkan        dokumen kasus pelanggaran HAM Papua yang kemudian dibantah oleh jubir Sekjen PBB Stephane Dujarric.
Tabloid-Wani -- Setelah membuat masyarakat Papua terombang-ambing dalam arus berita ‘pembohongan publik’, Direktur Eksekutif the Pacific Islands Association for Non-Governmental Organizations atau PIANGO, Emele Duituturaga, mengakui bahwa dirinya hanya secara ‘kebetulan’ bertemu dengan Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-moon dalam acara the World Humanitarian Summit yang diadakan di Kota Istanbul, Turki, 2 minggu lalu.

Diwawancarai Radio NZ, Duituturaga mengakui hanya berharap PBB dapat mengirimkan tim khusus untuk memantau langsung perkembangan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

“Ini isu internasional. Dia (Ban Ki-moon) perlu memberikan perhatian terhadap isu yang terjadi di Papua dan mengirim tim khusus untuk membangun dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di Papua” kata Duituturaga.

Baca versi bahasa Inggris disini...

Sebelumnya pada 25 Mei 2016 lalu, The Pacific Islands News Association (PIANGO) mengklaim bahwa mereka telah menyerahkan dokumentasi situasi dan pelanggaran HAM di Papua kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon lewat laporan berjudul “We Will Lose Everything”.

Namun PBB dengan cepat membalas pernyataan PIANGO dengan membantah bahwa mereka tidak pernah bertemu atau menerima dokumen apapun terkait masalah pelanggaran HAM di Papua seperti yang telah dikatakan Duituturaga tersebut.

Senada dengan PBB, Kementerian Luar Negeri lewat Menteri Retno mengatakan bahwa pernyataan tersebut (penyerahan dokumen kasus HAM di Papua) sangat disayangkan karena ada pihak-pihak tertentu yang mencoba mengusik kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Sangat disayangkan bahwa kesempatan berfoto bersama Sekjen PBB, yang dilakukan secara singkat dan tidak terjadwal di sela-sela penyelenggaraan suatu pertemuan tingkat tinggi dunia, telah diklaim sekelompok organisasi sebagai ajang penyerahan resmi laporan mengenai situasi HAM di Papua,” kata Menteri Retno dalam rilis pers di Portal Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Seruan KNPB Aksi Demo 15 Juni

KNPBKomite Nasional Papua Barat (KNPB) kembali berniat untuk menggelar aksi demo di Papua dengan tujuan mendukung diterimanya ULMWP menjadi anggota penuh MSG pada pertemuan yang akan dilakukan 14 Juli 2016 mendatang di Honiara.
Setelah sebelumnya pada tanggal 31 Mei yang lalu KNPB menghembuskan isu yang sama yaitu diterimanya perwakilan ULMWP yang hadir pada KTT MSG di Port Moresby, PNG dan telah diterimanya laporan pelanggaran HAM oleh sekjen PBB, Ban Ki Moon, kendati semuanya hanyalah isu yang mereka hembuskan agar masyarakat Papua mendukung kegiatan mereka.
Pada kenyataannya, perwakilan ULMWP yang diharapkan hadir dalam pertemuan tersebut tidak datang, bahkan diusir dan tidak diperkenankan masuk PNG oleh pemerintah setempat.
Hal ini juga telah banyak diberitakan oleh media nasional maupun internasional yang artinya apa yang dikatakan oleh KNPB hanyalah isapan jempol belaka.
Kelompok anti pembangunan Papua ini sama sekali tidak berpihak kepada masyarakat Papua justru sebaliknya, aksi demo KNPB berusaha untuk mengacaukan situasi Papua tanah damai yang sudah bertahun-tahun kita rasakan bersama sekaligus menjadi ancaman terhadap gencarnya pembangunan yang sedang berlangsung di Papua.
Lalu apa maksud dari demo tipu-tipu KNPB selama ini di Papua?
Wakil Ketua DPR Papua, Yanni, SH mengatakan “ada pihak asing yang menjadi dalang untuk mengganggu kedaulatan dan persatuan kesatuan Bangsa Indonesia dengan menyulut kemerdekaan Papua. Aksi demo yang dilakukan oleh KNPB ada scenario dan sutradaranya, sehingga lebih kuat merongrong keutuhan NKRI”.
Dibalik itu semua, terdapat oknum pejabat daerah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam aksi demo KNPB tersebut, seperti yang kita ketahui bersama bahwa kegiatan demo semacam itu membutuhkan dana yang besar.
Sudah semestinya pihak kemanan dalam hal ini Kepolisian harus mengusut tuntas dugaan aliran dana aksi demo KNPB tersebut karena banyak masyarakat Papua yang dirugikan.
Masyarakat Papua tidak boleh hanya diam dan mengikuti hasutan demi hasutan yang disebarkan pihak yang tidak bertanggung jawab seperti KNPB.
Perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Papua bahwa tidak ada satupun negara di dunia yang memberikan dukungan terhadap referendum karena Papua adalah bagian dari Indonesia.
Jika berbicara tentang penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, jangan hanya mendengar isu-isu yang dihembuskan kelompok anti pembangunan Papua tapi lihatlah kenyataan yang ada. Bahwa mulai dari Gubernur sampai pimpinan terendah di kampung-kampung semuanya adalah Orang Asli Papua (OAP).
Perkembangan pembangunan saat ini barjalan dengan sangat baik dan pemerintah pusat juga sudah mempercayakannya kepada putra putri asli Papua sehingga diharapkan permasalahan-permasalahan yang ada di daerah dapat terakomodasi dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan tanpa mengkesampingkan tradisi dan budaya yang selama ini dijunjung tinggi di Papua.
Berkenaan dengan hal tersebut, masyarakat Papua harus mendukung kelancaran dan percepatan pembangunan di Papua yang saat ini yang telah dicanangkan sebagai agenda nasional oleh Bapak Presiden Joko Widodo sesuai dengan kapasitas dan profesi masing-masing.
Hanya dengan persatuan, kita bisa jadikan Papua sebagai daerah yang sejajar dengan kota-kota besar di Indonesia bahkan dunia internasional.
Satukan tujuan untuk membangun Papua yang mandiri, sejahtera dan berkepribadian.
Syaloom, Tuhan Memberkati. . .

The 2016 – United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues

0  
Every year since 2007, the United Nations Permanent Forum for Indigenous people holds meetings to discuss issues that are important to indigenous people of the world. It is an opportunity for us West Papuans to express our views and concerns, and to remind the United Nations of what happened more than five decades ago in West Papua under the New York Agreement (NYA), which was signed on August 15, 1962, and continued on in 1969 under the sham election known as the ‘Act of Free choice’. The result of this betrayal is the colonial occupation of our people and the destruction of our lands and natural resources. Our people were denied the “One man one vote,” which was agreed on in the New York Agreement (NYA). It is our duty to remind the UN of this history when we get the chance.
The UNPFIII focuses on three things that affect indigenous people across the world: conflict, peace, and resolution. It gives indigenous people from around the world a voice – an opportunity to raise their concerns about issues and conflicts facing them in their own countries.
I and other representatives of our people in West Papua attended these meetings at the UN headquarter in New York city, urging the UN body to review the mistakes of the past and understand why we West Papuans have been fighting against the illegal occupation of our lands till today. And to recommend to the UN peaceful solutions based on international laws. We reminded them that as long as our concerns are not being addressed, the struggles against imperialism will continue, which means more human rights violations against our people will continue.
My Statement at UNPFII
For me, it was the third time I have attended these UNPFII meetings since its inception in 2007, working and lobbying hard to gain support for the struggle of my people. Most importantly,  I took this opportunity to talk about the root causes of the conflict back home in West Papua and to remind the UN that all we want is freedom from colonialism. We want “self-determination,” which is our right to determine our own future; our own destiny. Our people have been fighting for their freedom for many years and even if they are outnumbered and faced military dictatorship, our struggle will continue; it will not stop until we are free.

Words from the UNPFII Meetings

“After three weeks of dialogue with indigenous peoples, Member States and UN entities, the Permanent Forum has today made strong recommendations to ensure indigenous peoples’ rights in times of conflict which is increasingly affecting them on their lands and territories,” said Mr. Alvaro Pop, the Chairperson of the Permanent Forum on Indigenous Issues. He added that “the statements made during the 2016 session show a worrying trend of increased threats and violations against indigenous human rights defenders – and that there is an urgent need to ensure indigenous peoples’ access to justice and to address impunity.” There’s nothing frightening about adopting and implementing the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, Indigenous Affairs Minister Carolyn Bennett said Tuesday at the UN. (Canadian Government).
Meanwhile, at the United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues Canada’s Justice Minister Jody Wilson-Raybould called on the United Nations to confront the “legacies of colonialism” around the world and to help rebuild communities for the world’s Indigenous peoples: “We had two world Indigenous decades, let us create an Indigenous century, let us make it a century where nation states and indigenous peoples work in partnership towards true reconciliation that supports strong and healthy indigenous peoples that are in charge of and in control of their own destinies,” she argued.
At the closing of the session, United Nations Secretary-General Ban Ki-moon called for indigenous peoples’ participation in the implementation of the 2030 Agenda for Sustainable Development and said that “States must be held accountable for implementing the 2030 Agenda, with full respect for the rights and minimum standards guaranteed for indigenous peoples in the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.” The Member States should come to grips with the paradox that while they ratify human rights treaties that impose hard law obligations, they also enter into trade and investment agreements that render the fulfillment of human rights treaties more difficult or even impossible.
To obtain clarity on these issues, should the UNGA invoke article 96 of the Charter and request an advisory opinion from the International Court of Justice? Reckon we’ll have to wait several years but think the opinion would specifically state that the human rights treaty regime must prevail over competing treaties. West Papuan right to self-determination must be recognized!
Herman Wainggai
At the UN-NYC
Photos from the UNGA

Potret Langka Gerilyawan Perempuan Kolombia

Sejak lama FARC mengobarkan perang gerilya melawan pasukan pemerintah di Kolombia. Terutama kaum perempuannya dikenal paling sadis. Inilah potret langka kehidupan banal para serdadu perempuan di hutan rahasia Kolombia
  • Kolumbien Alltag im Lager der FARC

    Lahir lalu Dirampas

    2014 silam BBC melaporkan bagaimana kelompok pemberontak Kolombia itu mewajibkan praktik aborsi buat gerilyawan perempuan yang hamil. Jika ada yang berhasil melahirkan, bayinya dirampas dan dibawa ke tempat lain. Laporan merujuk pada kesaksian sejumlah ibu yang berhasil melarikan diri dan kini kembali ke hutan demi mencari anak-anaknya yang hilang.

Hingga Saat Ini 3 Pesawat Tempur Masi Siaga Di Perbatasan Papua

3 Pesawa Tempur Siaga Di Perbatasan Kira-Kira Mau Perang Dengan Siapa ???
Tiga-Pesawat-Tempur-F16-Siaga-di-Perbatasan-Papua
Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Manuhua, Biak Kolonel Pnb Gustav Brugman mengatakan ada tiga pesawat tempur F16 TNI yang disiagakan untuk pengamanan wilayah udara yang perbatasan negara Papua Nugini.

“Tiga pesawat tempur TNI AU berasal dari Skuadron Rusmin Nuryadin Pekan Baru akan melakukan latihan tangkis sergap hingga 15 November 2015,” kata Gustav Brugman didampingi Asisten Operasi Pangkohadudnas IV Kolonel Pnb Jonny Sumaryana di Biak, Kamis (29/10).
Ia mengakui, program rutin latihan personel TNI AU merupakan bagian dari komitmen TNI Angkatan Udara dalam rangka mengoptimalkan kekuatan peralatan militer untuk pengamanan wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Selama latihan di Biak, menurut Kolonel Brugman, tiga pesawat tempur F16 akan melakukan patroli pengamanan wilayah udara di Papua dan Papua Barat.
Dengan kehadiran tiga pesawat tempur F16 untuk keperluan latihan di Biak sekitarnya, menurut Danlanud, akan menimbulkan suara bising yang dapat menganggu kenyamanan masyarakat.
“Sebagai komandan saya sudah menyurati bupati dan instansi terkait untuk meminta dukungan atas kehadiran pesawat tempur TNI AU yang melakukan latihan untuk meningkatkan performa TNI AU,” ungkap Brugman.

Latihan tangkis sergap tiga pesawat tempur F16 TNI AU di Biak diperkuat sebanyak 62 personel prajurit TNI Skuadron 16 Pekanbaru dan satu pesawat Hercules.
Sumber : Deky /http://www.tabloidbongkar.com/2015/10/29/tiga-pesawat-tempur-f16-siaga-di-perbatasan-papua/





Para aparat bersenjata Papua Nugini siaga setelah terjadi demo menuntut PM O'Neill lengser. - Foto: (Instagram/@trustyiam)
Port Moresby, Tabloid-Wani -- Setidaknya empat mahasiswa dilaporkan tewas ditembak polisi saat demo menuntut Perdana Menteri Papua Nugini; Peter O’Neill, lengser, pada Rabu (8/6/2016).

Lebih dari selusin mahasiswa terluka karena ditembaki polisi saat unjuk rasa.

Semula aparat polisi di Ibu Kota Papua Nugini, Port Moresby, bentrok dengan para pengunjuk rasa. Tak berselang lama, para aparat polisi mengumbar tembakan di kerumunan mahasiswa yang berdemo di gedung parlemen.

Para mahasiswa tidak puas dengan kepemimpinan PM O’Neill yang dituduh terlibat korupsi. Mereka kemudian berdemo mendatangi gedung parlemen menuntut sang perdana menteri mengundurkan diri.

Aksi para mahasiswa itu dicegah polisi dengan tembakan. Bahkan, para mahasiswa juga dicegah untuk meninggalkan kampus mereka.

Laporan lain menyebut, penembakan dipicu seorang mahasiswa yang menolak aparat penegak hukum untuk menangkap presiden dewan mahasiswa.

”Mereka melepaskan tembakan, mereka melepaskan tembakan langsung di kerumunan,” kata seorang demonstran Gerald Peni kepada ABC Australia. "Dua ditembak, anak-anak ditembak, jadi kami tahu bahwa kami telah memiliki dua korban yang ditembak oleh polisi.”

Sementara itu, seorang petugas dari badan bantuan utama yang menolak disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa ada empat demonstran yang tewas ditembak. Sedangkan 15 lainnya terluka.

Pihak Rumah Sakit Umum Port Moresby mengatakan, ada 10 mahasiswa yang dirawat dan semuanya dalam “situasi yang sulit”.

Selama berminggu-minggu mahasiswa telah memboikot kelas dan kuliah untuk menuntut pengunduran diri PM O'Neill.


LSM Jaringan OPM luar negri, The Pacific Islands News Association (PIANGO) asal FIJI menghilang di PBB setelah memuat berita Tipu tipu

LSM Jaringan OPM,  The Pacific Islands News Association (PIANGO)  menghilang di PBB setelah memuat berita Tipu tipu

Tipu tipu LSM PIANGO
Tipu tipu LSM PIANGO
Jakarta (Facta-news.com)  LSM yang berkantor di FIJI ISLAND The Pacific Islands News Association /PIANGO (25 Mei 2016) mengklaim bahwa mereka telah menyerahkan dokumentasi situasi dan pelanggaran HAM di Papua kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon lewat laporan berjudul “We Will Lose Everything”.
Berita panas yang bergulir mengenai penyerahan dokumen masalah pelanggaran HAM berat di Papua oleh The Pacific Islands News Association (PIANGO)  mendapat tanggapan sangat serius oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Setelah mendapatkan berita tersebut Ibu Retno langsung seketika mengkonfirmasi ke Sekjen PBB di New York Amerika Serikat.
Ibu Retno sangat menyayangkan bahwa kesempatan berfoto bersama Sekjen PBB, yang dilakukan secara singkat dan tidak terjadwal di sela-sela penyelenggaraan suatu pertemuan tingkat tinggi dunia, telah diklaim Jaringan Separatis OPM diluar negri telah menyerahkan laporan resmi mengenai situasi HAM di Papua,” kata Menlu Retno dalam rilis pers di portal Kementerian Luar Negeri pada tanggal 2 Juni 2016.

Bantahan resmi sekjen PBB tentang laporan HAM Papua

Semenjak dibantahnya oleh Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, LSM PIANGO menghilang entah kemana. Pihak Sekjen PBB yang telah memberikan penjelasan bahwa PBB tidak pernah menerima laporan tentang kasus pelanggaran HAM di Papua oleh LSM PIANGO yang berpihak ke kelompok jaringan separatis OPM di luar negri  dalam pertemuan internasional di Negara Turki pada perayaan World Humanitarian Summit di Kota Istanbul.
Pihak  forum kepulauan pasifik yaitu The Pacific Islands News Association (PIANGO) sangat malu karena tipu tipunya terbongkar maka sekarang kabur entah kemana rimbanya. Dari beberapa pejabat Indonesia yang mewakili PBB bahwa Forum Negara Kepulauan Pasific tidak pernah  ke media international  setelah memberitakan bahwa kasus pelanggaran HAM Papua telah diserahkan kepada Sekjen PBB, Ban Ki-moon yang ternyata hanya bohong bohongan.
Pernyataan juru bicara Sekjen PBB tidak pernah menerima dokumen apapun terkait laporan HAM Papua,” menurut penjelasan Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric beberapa hari yang lalu, saat dalam press briefing harian pada Rabu, 1 Juni 2016 di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.

INI BERITA TIPU TIPU  LSM PIANGO

Lsm Piango yang berkantor di 17 St Fort Street, Suva, Fiji Islands Postal: PO Box 17780, Suva, Fiji
Phone: (679) 3300060 & E-mail: info@piango.org
(Piango) UN Secretary General, Ban Ki Moon has been presented with the West Papua Fact Finding Mission Report titled “We Will Lose Everything” by PIANGO’s executive director, Emele Duituturaga.
Duituturaga presented the report to Ban Ki Moon during day two of the World Humanitarian Summit in Istanbul, Turkey. The report was received by the assistant Secretary General.
Duituturaga who captured the handing over in a photograph said she was privileged to have had a brief exchange with Ban at the end of the summit.
The handover comes after Duituturaga addressed the World Humanitarian Summit (WHS) plenary on day one calling for United Nations intervention on human rights violations in West Papua.
“PIANGO strongly advocates human-rights based approaches and we commit to upholding norms that safeguard humanity, specifically in relation to speaking out on violations of international humanitarian and human rights laws,” she said.
“In the Pacific, we have our share of conflict induced humanitarian challenges. We applaud the closing of the Manus Refugee camp in Papua New Guinea, we are concerned about the conflicts at the Nauru detention centre and we call for UN intervention for human rights violations in West Papua.”
“As a leading civil society organisation, the Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO), representing NGOs in 21 Pacific Islands Countries and Territories, is committed to this Agenda for Humanity.”
“In the Pacific where 80% of our population are rural based, the first and the last response is always the local response and so we need to reinforce local leadership, strengthen community resilience and reprioritise localisation of aid.”
She said while governments remain the driver at the national level, community engagement is the lever.
“PIANGO is committed to facilitate effective coordination of local and national civil society organisations with the complimentary role of international NGOs.”
“We also expect our leaders to match the ambition of this agenda with national and regional strategies and accountability mechanisms for inclusive and participatory implementation, bringing all stakeholders together and at all levels – to include government, civil society, private sector, academics, parliamentarians, local authorities, faith communities and UN agencies.”
The summit which had 9000 participants from 173 states, including 55 heads of state, hundreds of private sector representatives and thousands of people from civil society and non-governmental organisations ended Wednesday. (SOURCE: PIANGO)
by Markus Adii

HIMBAUAN UMUM KNPB: DOA DAN AKSI 15 JUNI 2016

Kita tidak harus diam mengharapkan uluran tangan dan belas kasihan orang lain untuk menentukan nasib Bangsa Papua ke depan. Tetapi, kita harus bangkit dan bergerak untuk memperjuangkan nasib bangsa kita sendiri.
Amerika, Inggris, Belanda dan kolonial Indonesia pun tidak akan pernah menentukan nasib masa depan Bangsa Papua. Kita tidak bisa berharap kepada kolonial untuk mengubah nasib kita. Ingat pencuri tidak pernah berniat baik.
Yang ada dalam benak seorang pencuri atau perampok hanya niat jahat, membunuh pemilik barang dan semua barang harus dia miliki. Pembunuh juga tidak akan mau mengaku dia pembunuhnya, demikian juga pencuri, tidak akan pernah jujur mengaku bahwa dia pencurinya.
Oleh karena itu Bangsa Papua tidak perlu berharap banyak kepada kolonial Indonesia bahwa negara ini akan membangun bangsa kita jadi baik. Jangan pernah bermimpi bahwa kolonial Indonesia akan jujur mengakui kesalahan dan memberikan rasa keadilan kepada Bangsa Papua.
Penjajah tidak akan pernah berniat baik terhadap bangsa terjajah, yang ada dalam benak penajajah hanya membunuh dan menguasi. Kita tidak boleh menjadi manusia pragmatis atau berpikiran pendek seperi ikan dalam aquarium. Jangan kita terlena dalam hegemoni colonial.
Semua produk kolonial ujung-ujungnya menuju kepunahan. Oleh karena itu kami Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP-KNPB) menghimbau kepada pemimpin organisasi gerakan, seluruh Pimpinan Gereja, seluruh mahasiswa Papua di Tanah Air maupun di Luar Papua, PNS dan TNI Polri orang asli Papua, Gubernur, Bupati, wali kota dan seluruh komponen rakyat Papua bahwa:
1. Menjelang Pertemuan MSG tanggal 14 Juli 2016 di Honiara, Salomod Islands, segera lakukan Doa dan Puasa di seluruh Tanah Papua, baik dalam komunitas keluarga, organisasi, dan secara individu mendukung ULMWP agar menjadi Anggota Full MSG,
2. Segera lakukan Mobilisasi Umum menuju aksi demo damai untuk menolak dan melawan semua tipu daya Jakarta dalam menanggapi tuntutan demokratis rakyat West Papua terhadap referendum. Stop tipu-tipu rakyat West Papua dan selamatkan muka di internasional dengan seakan akan sedang lakukan penyelesaian kasus HAM. Jakarta hanya perlu segera dorong penyelesaian status politik West Papua melalui REFERENDUM.
3. Kepada, PNS, TNI/POLRI Gubernur, para Bupati, Walikota, mahasiswa, anak sekolah, segera meliburkan diri dan ikiut berpartispasi dalam aksi DEMO DAMAI 15 Juni 2016. Kita menolak Tim pencari fakta pelanggaran HAM buatan Jakarta melalui Menkopolhukam. Kita hanya MENDUKUNG:
a. DEKLARASI WESTMINSTER PBB, dengan mengirim atau menyerukan pengawasan Internasional terhadap suara West Papua (referendum) untuk menentukan nasib sendiri.
b. Kami Rakyat Papua mendesak Tim pencari Fakta Pelanggaran HAM dari Pasifik Island Forum (PIF) sesuai dengan hasil keputusan PIF di PNG pada tahun 2015 lalu.

Demikian Himbauan Umum ini kami keluarkan dengan penuh tanggung jawab. Atas perhatian adan partisipasi dari seluruh komponen Rakyat Papua Barat, tak lupa kami haturkan berlimpah terima kasih.
Salam Revolusi ‘ Kita Harus Mengakhiri”
Numbay, 08 Juni 2016
Bazoka Logo Korlap
Penaggung Jawab
Badan Pengurus Pusat
Komite Nasional Papua Barat (BPP-KNPB)

Agus Kossay Ones Suhuniap
Ketua I Sekretaris